Kamis, 12 Januari 2012

Yth. Abah dan Umi. (Satu Cerpen Multikulturalisme

Surabaya, 25 Maret 2011. Pukul 02.51 WIB.
By: Puu_

*Cerita ini adalah satu dari realita sosial yang ada dalam masyarakat Multikultur. Tidak bermaksud menyinggung salah satu dari kultur yang ada. Tak bermaksud pula untuk mencari satu pembenaran. Jika ada kesamaan nama, tempat, tokoh bukanlah suatu kesengajaan. Mohon dimaafkan. ^.^V

Rintik gerimis sahdu, menderu pelan di atas mobilku yang merapat sayu di sisi trotoar. Aku menunggu Lani di depan Gereja Santa Ana. Gereja Katolik berarsitektur spanyol. Patung lelaki berjenggot tebal berdiri agung di atas beranda gereja, basah kuyub oleh percikan gerimis. Lani menyebut lelaki itu dengan nama Yesus Kristus, sedangkan aku menyebutnya Isa Al masih, al-Masih al-Isra’ili bin Maryam. Ia hadir dalam kitab suciku dan ia juga hadir dalam kitab suci Lani. Pria dari Nazaret itu dahulu mengorbankan jiwa raganya di bukit Gorgota demi manusia, begitu tutur Lani yang meyakini lelaki itu sebagai Tuhan. Sedangkan aku menyakini pria itu sebagai Nabi utusan Tuhan. Ya, suatu perbedaan transenden dalam hubungan cinta kami.

Francisca Meilani, gadis katolik yang telah mematri hatiku pada batang salib cintanya. Merentangkanya dalam buaian asmara yang mengoda. Yang membuatku terpaku  untuk tidak meninggalkanya. Menderaku dengan siksaan rindu dan menancapkan mahkota duri-duri cemburu kala tak bertemu. Gadis sederhana dengan berjuta pesona. Pesona dalam teguhnya satu komitmen dalam dua perbedaan yang dalam. Kurasakan ruh keselarasan dalam harmoni perbedaan. Ruh yang menghidupkan satu kebersamaan, ruh yang menjiwai satu tujuan satu kasih. Ruh yang akan tetap melangkahkan dua hati dalam satu jiwa.

Wipper di kaca depan mobilku menyapu pelan, terus berusaha menyingkirkan bintik-bintik gerimis yang memburamkan bening kaca. Bergerak beriring kearah horizontal dan vertikal, seperti gerak syaraf otakku yang terus berusaha menyapu kegelisahan hati. Kegelisahan tentang rencana pernikahanku dan Lani, rencana masa depan dengan satu jurang perbedaan yang dalam. Sudah hampir tiga tahun kami berpacaran, perbedaan itu tidak pernah mengusik jalinan cinta kami. Karena saling mengerti dan memahami keyakinan masing-masing. Lani gadis Katolik yang taat, tak pernah sedikitpun aku memintanya untuk mengganti keyakinannya untuk sama dengan keyakinanku. Begitu juga Lani yang tetap menghargai keyakinanku. Setelah sekian lama berpacaran kami memantapkan hati untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Satu moment sakral yang dinanti-nanti dalam cerita cinta dua anak manusia.

Walau kami sudah memiliki tekad bulat yang satu. Namun colective consainess tak selamanya sejalan dengan keinginan individu. Dalam agamaku dan agamanya tak ada celah untuk membangun jembatan yang menghubungkan cinta dalam perbedaan keyakinan. Jembatan indah yang menghubungkan antara dua hamparan benua hati yang terpisahkan oleh luas dan dalamnya samudara keyakinan. Apalagi hukum negeri ini. Hukum negeri ini hanya melegalkan suatu perkawinan hanya dengan cara satu agama saja. Setelah menemui jalan buntu dari sisi agamaku. Agamaku hanya mengizinkan jika Lani menjadi mualaf. Namun aku tidak setuju. Karena jika toh nanti Lani masuk Islam, itu bukan dari keyakinanya. Karena aku tahu betul tingkat keimanan Katoliknya. Lani berusaha mencari cara dalam cara agamanya. Berdiskusi dengan Pastor di Paroki untuk meminta dispensasi. Agama dengan segala eklusifitas hukumnya tak bisa di ganggu gugat. Mempertanyakan hukum agama berarti kafir dengan sederet ancaman dosa. Entah mengapa, jikalaupun kita berkeyakinan dengan tulus adanya Tuhan, tentunya kita tidak perlu lagi memikirkan ancaman neraka, dosa, siksa alam baka. Kita ikhlas dengan Tuhan tanpa adanya janji surga dan neraka. Yang terpikir adalah segala tindakan kita menuju ke muara kebaikan. Ketakutan kita hanya satu perbuatan kejahatan berarti menghianati Tuhan. Salahkah aku jika hendak mempersunting gadis lain keyakinan? Jahatkah aku jika kelak hendak beristri gadis lain keyakinan?

Lani terlihat berjalan tenang dari pintu gereja. Berjalan lentik, anggun mempesona. Perpaduan rok putih berenda bawah lutut dengan atasan batik corak halus, memperindah gerakan tubuhnya yang langsing. Rambut bleaching tipis yang dibiarkan terurai, dengan agak blonde yang menggantung pada ujung-ujungnya. Style feminim khas Lani, oh gadisku. tak bisa aku pungkiri, Sebagai manusia lelaki dengan segala sifat kemanusiaanku, aku mengagumi fisiknya yang indah, namun bukan itu yang utama, karena fisik bisalah berubah mengikuti hukum waktu. Segar bisa menjadi layu, muda pada akhirnya menjadi tua. Aku mencintai Lani dengan ketulusan, atas rasa ikhlasnya yang tetap teguh mempertahankan cinta dalam perbedaan diantara kami. Keihlasanya mencintaiku menjadi kunci bertahanya cinta ini. Matanya yang belo’ menyisir jalanan depan gereja mencari keberadaanku. Aku lekas membuka kaca mobil dan melambaikan tangan kepadanya. Disambutnya aku dengan dengan senyuman manis, terlihat jelas pesonanya diantara gerimis yang tercecer menyejukan. Dalam gerimis tipis ia berlari kearahku, agak tergopoh membuka pintu dan masuk ke dalam mobil menghindari keroyokan partikel-partikel air.

Aku memandanginya pelan dengan gesture tak sabar untuk segera mengetahui hasil diskusinya dengan pastur.

“Gimana sayang, hasil diskusi dengan Romo tadi?”.tanyaku sembari menyodorkan handuk kecil kepadanya.

Lani mengusap bintik-bintik air di mukanya yang halus, tersenyum gembira bercampur resah. Resah jika aku tak sepakat denganya. ia menjelaskan hasil diskusinya dengan pastur. Ia menuturkan bahwa dalam katolik Perkawinan beda agama bukanlah hal yang ideal, harus ada izin Uskup kalau seorang Katolik ingin menikah dengan orang yang beda agama. selain itu masih harus memenuhi syarat, yaitu  Perkawinan dilakukan secara Katolik, Lani harus tetap mempertahankan iman katoliknya, dan kami harus sepakat bahwa anak-anak kami kelak akan diBaptis secara Katolik dan dididik dalam iman Katolik, dan Lani sebagai pihak Katolik harus bersedia berupaya sebisanya untuk ini.

Alhamdullah sedikit titik terang terlihat. Ada celah untuk kami mewujudkan impian pernikahan. Aku menyanggupi syarat pertama dan kedua. Bukan,.. bukan lantaran aku menghalakan segala cara untuk mencapai keinginan. Namun hanya inilah jalan satu-satunya untuk melegalkan pernikahan kami. Aku pun tidak hendak keluar dari keyakinanku. Aku tetap teguh dalam keyakinanku, begitu juga Lani. Jikalapun pernikahan ini bakal berlangsung diluar keyakinanku, bukan berarti aku mengingkari keyakinanku. Kurasa Tuhan maha mengetahui. Aku tetap percaya satu, Tuhanku yang juga Tuhannya Lani. Hanya kendaraan kami menuju Tuhan yang berbeda. Tentang syarat yang ketiga. Kami sepakat kelak akan memberikan kebebasan kepada anak-anak kami untuk memilih jalanya sendiri dalam bimbingan kami. Bukan pula Lani hendak mengkari janjinya pada gereja. Namun itu hanya pernyataan dalam kesaksian. Dan jika melanggar itu adalah urusan moral dengan gereja. Hanya Tuhan yang maha mengetahui, Karena keyakinan bukanlah suatu warisan, namun tumbuh kembang dari hati nurani.

Binar bahagia belumlah terang terwujud. Tantangan selanjutnya yang harus kami lewati adalah orang tua kami. Manusia-manusia mulia yang tulus ikhlas merawat, mendidik dan membesarkan kami. Mahluk Tuhan yang mengemban titah sebagai alat untuk memproduksi daging-daging bernyawa yang disebut manusia. Daging-daging bernyawa yang menjalankan tugas sebagai punghuni alam raya. Sebagai kalifah Tuhan yang berkuasa atas mayapada. Orang tua kami masing-masing selama ini hanya mengetahui kalau hubungan ini hanya sekedar teman biasa. Lantaran perbedaan keyakinan, kami tak memberitahukan bahwa kami adalah sepasang kekasih. Namun kini sudah tiba saatnya untuk aku dan Lani berterus terang pada orang tua kami masing-masing.

******************
Malam selepas isya’, Abah terlihat duduk santai di sofa ruang tamu, membelakangi pigura kaca bergambar kota suci Mekah,  tenunan karpet Turki berbentuk ka’bah dan masjidil Haram yang dipenuhi manusia-manusia yang sedang menyempurnakan imanya. Dengan deretan kaligrafi dari ayat kursi sampai surat Al Fatihah yang mengitari dinding ruangan. Raut wajah tuanya terlihat cerah oleh bekas air wudlu sholat isya. Berbaju koko dengan peci haji yang serupa dengan uban yang mulai memenuhi rambutnya. Tangan kirinya memegang satu kitab bercover ukiran corak arab, dengan tulisan arab yang berlafal ushul fikih al-Syafii. Memilah-milah halaman demi halaman untuk dibacanya. Ia seorang muslim yang taat. Terus memperdalam kitab-kitab pengetahuan ilmu agama. Bahkan namaku pun di ambil dari bahasa arab, Rijal Ar Rafi, yang konon artinya Lelaki yang memuliakan. Dari nama itu Mungkin ia berharap anak lelakinya ini, sebagai orang yang selalu memuliakan/menghargai orang lain. Dulu sewaktu kecil aku memanggilnya Ayah dan setelah naik haji, ia lebih suka untuk dipanggil abah. Semenjak itu, ia semakin gandrung dengan kultur arab. Sampai-sampai arsitektur pintu rumah di rubah menjadi pelengkung mirip kubah masjid. Ia tak lagi suka mendengarkan musik campursari  dan berganti gandrung dengan musik sholawat dan gambus. Ia Nampak menemukan suasana batin yang mempertebal keimananya dalam Islam. Kendaraan menuju Tuhan yang dinahkodai oleh seorang pria Arab bernama Muhammad. Nahkoda yang kuagungkan sebagai manusia mulia dengan segenap sifat kemanusiaanya.

Aku menghampiri abah dengan langkah gugup. Ku tindas rasa gugupku dengan memberi salam dan mencium taksim tangannya.  Ia meletakkan kitab di tanganya ke atas meja. Menyeka muka dengan dua telapak tangan, dengan suara pelan berdesis hamdallah. Ya, itulah abahku, muslim taat yang selalu mengawali aktivitas dengan opening basmallah dan  closing hamdallah. Muslim taat yang memaknai tingkah polahnya sebagai ibadah, dengan peranti pendukung segala sesuatu kultur dimana agamanya lahir. Dengan senyum penuh wibawa menyambutku, dilanjut dengan sederet perbincangan tentang, hal-hal aktual, aktivitas dan pekerjaanku. Aku sengaja lebih banyak membahas tentang isu-isu pergeseran kelompok-kelompok agama yang sering terjadi akhir-akhir ini. Ingin mengetahui kadar tanggapanya tentang perbedaan keyakinan. Dari konflik Ahmadiyah sampai terror bom. Ia menanggapi berbagai peristiwa itu dengan penuh rasa penyesalan. Penyesalan atas kekerasan-kekerasan yang seharusnya tak perlu dilakukan. Penyesalan atas ternodanya citra agamanya karena tindakan-tindakan tersebut. Abah memang seorang muslim fanatik akan islam dengan segala pirantinya, namun fanatik yang dibarengi rasa toleransi.

Dalam resah aku mencari celah dan kesempatan untuk menyampaikan niatku untuk mempersunting Meilani. Lebih tepatnya meminta restu.  Sampai pada akhirnya kutemukan jeda waktu yang tepat, setelah kurasa abah mulai asik dengan perbincangan ini. Sangat hati-hati dan sunguh-sungguh kesampaiakn niatku kepadanya. Dalam hati aku mengharap sangat, dari sifat toleransi beragamanya dari perbincangan pembuka tadi, berharap ia dapat memahami dan memberikan restu rencana pernikahanku dan Lani.

Setelah kusampaikan niatku. Suasana berubah menjadi beku. Ditariknya nafas dalam-dalam. Kurasakan mimik mukanya yang agak terkejut. Walau tak Nampak jelas. Sebentar ia memandangiku, menoleh dan menebar pandang ke dinding-dinding ruang tamu yang penuh hiasan kaligarfi. Mungkin ia menyadari dan berfikir bahwa putranya sengaja memperbincangkan masalah perbedaan keyakinan sejak awal, yang pada ujungnya bermuara pada permasalahan anak lelakinya tersebut. Permasalahan yang menyeret dirinya pada pergulatan batin. Kalau dalam perbincangan awal tadi posisinya hanya sebagai komentator, maka kini ia masuk sebagai salah satu aktor dalam lakon perbedaan keyakinan. Aktor yang tidak hanya mengomentari, tetapi langsung terlibat. Oh, maafkan aku abahku sayang…..

“Nak,…..” dengan suara berat ia memecah kebekuan diantara kami.kemudian melanjutkan ucapanya. “Sepenuh hati, abah menyadari adanya perbedaan. Sepenuh hati abah menjunjung toleransi, oleh karenanya abah tak pernah melarangmu bergaul dengan Lani”

Aku hanya terdiam dan berdebar mendengarkan satu-persatu ucapanya. Dan menunggu kelanjutan perkatanya.

“Abah tidak mempermasalahkan pergaulanmu dengan Lani, tapi hanya untuk ranah silahturahmi sesama manusia, bukan ranah tauhid, teologi. Kamu tahu nak, apa hukum pernikahan beda agama dalam agama kita?. Haram nak, haram.. kafir ingatlah itu”. Kini suara abahku berubah semakin meninggi.

“Maaf abah, bagaimana dengan surat al-Maidah ayat 5? Bukankah seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan ahlul kitab (non-muslim dalam lingkup agama samawi)”. Aku mencoba memberi dasar atas keputusan yang hendak aku jalani.

Bergegas ia menegakakan duduknya. “benar nak, tapi kau juga harus membaca surat Ali Imran ayat 113. Ahlul kitab yang bagaimana? itulah yang harus kamu ketahui. Lebih banyak mafsadatnya dari  pada maslahatnya”.

 Ia menambahkan, dan kini kata-katanya keluar dengan suara yang lebih tegas. “Renungkanlah nak!!!, mau jadi apa rumah tanggamu kelak, dengan perbedaan keyakinan? Mau jadi apa kau kelak? Mau jadi apa istrimu kelak? Mau jadi apa anak-anakmu kelak?. Kalian hanya akan jadi manusia-manusia yang tak berprinsip. Manusia-manuisia yang menanggalkan prinsip demi nafsu keduniawian. Manusia-manusia yang akan menjadikan keturunanku menjadi manusia tak berprinsip. Atau mungkin kau tak menganggap lelaki tua ini sebagai abahmu lagi?”.

Umi tergopoh menghampiri kami. Ia terlihat tergopoh dari ruang belakang, lantaran mendengar suara abah yang tak biasanya menjadi keras. Namun tak ada yang bisa ia perbuat untuk membelaku dari amukan kata-kata abah. Dari tempat duduknya abah segera berdiri, dan segera mengajak Umi meninggalkan ruang tamu. Umi sekilas memandangiku iba. Dua orang manusia yang telah membesarkanku itu Nampak kecewa dengan putranya. Anak lelaki yang selalu dinanti kehadiranya kala ia masih mendekam dalam rahim. Dididik dan dibesarkan dengan peluh dan kasih, kini melukai hati mereka. Tak kalah sengit, orang tua Lani. Ia seraya menangis menelponku,  “terang tak bisa bersatu dengan gelap”. Katanya menirukan perkataan orang tuanya.

***********************
Oh,.. Tuhan ampuni aku. Tak ada maksud aku menyakiti mereka. Tak sedikitpun tergores niat untuk mengecewakan mereka. Mengecewakan mereka kah jika aku hendak menunjukkan indahnya perbedaan?. Ya, Perbedaan agama, perbedaan yang menjadi sebab perang salib harus terjadi, perbedaan yang menjadi sebab serentetan peristiwa terror Bom di negeri ini, perbedaan yang menjadi sebab orang-orang berjubah dan sok suci petantang-petenteng, mengkafirkan kelompok lain. Memukul, menghantam dan dengan bringas ingin memusnahkan manusia-manusia yang dianggapnya kafir. Oh,.. bukan..bukan.. bukan lantaran agama semua itu terjadi, namun lantaran perebutan kekuasaan. Agama itu suci adanya, sakral adanya, namun akan menjadi kotor ketika sudah menjelma menjadi kekuasaan. Sumpah jabatan dibawah kitab suci-pun tak bisa menjadi patokan bagi penguasa untuk tidak lalim.

Aku tak sanggup membendung amarah abahku secara langsung. Tak sanggup aku mengeluarkan kata-kata yang menguatkan niatku di depan lelaki yang aku hormati itu. Sehingga Ku tulis sepucuk surat untuk Abah dan Umi.

Mail :
_____________________________________________________________

Yth. Abah dan Umi.

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Abah dan Umi sayang,…
Sembah sujud dan hormatku selalu meyertai,..

Abah Umi, sumpah demi Allah SWT, putramu masih teguh menyakininya sebagai Tuhan. Tuhan sekalian alam, yang maha pengasih dan penyayang. Tuhan bagi sekalian alam dengan Muhammad sebagai rasulnya yang tetap aku muliakan. Dengan tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat, putramu juga masih teguh menghargai Abah dan Umi sebagai orang tuanya. Sumpah demi Allah, tak sedikitpun terbesit keinginan untuk membuat abah dan umi kecewa.


Abah dan Umi, maafkan putramu ini jika hari ini tetap teguh pada pendirianya. Pendirian yang tak berkenan dihati abah dan umi. Pendirian untuk tetap teguh beristrikan Meilani. Meilani sigadis ahlul kitab. Janganlah anggap kami tak mengindahkan orang tua dan menghukum kami sebagai anak-anak durhaka. Namun, mengertilah, kami hendak menunjukan indahnya nada-nada dalam harmoni perbedaan. Bukankan abah dan umi sepenuh hati menghargai perbedaan berkeyakinan. Sama sekali kami tak mengutik-utik perihal teologi. Putramu masih setia pada keislamanya, begitu juga calon menantumu (jika abah dan umi tak berkeberatan menyebutnya demikian). Meilani gadis katolik yang taat, ia juga tetap setia pada keyakinanya pada Katolik. Tak sedikitpun ada niatan pada kami untuk mencampuradukan keyakinan untuk satu persamaan. Tak ada niat sedikitpun pada kami untuk saling membujuk untuk berpindah keyakinan. Yang kami yakini Tuhan hanya satu. Jika banyak orang berfaham demokratis mengatakan bahwa perbedaan agama layaknya pepatah “Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan juga menuju Tuhan”, namun bukan itu yang kami yakini. Yang kami yakini Tuhan itu satu, namun untuk menujunya dengan kendaraan yang berbeda-beda. Ibaratnya, kami hendak menuju pulau yang sama. namun kami menyebrangi lautan dengan perahu yang berbeda. Perahu yang berbeda tersebut bisa berjalan beriringan di atas lauatan yang luas. Perahu-perahu tersebut, adalah keyakinan kami. Walau berbeda kendaraan, namun kendaraan tersebut bisa berjalan beriring di atas lautan rumah tangga kami. Dan kami menuju pulau yang sama, yaitu Tuhan.

Abah dan Umi, kami bukan orang yang tak berprinsip lantaran hidup dalam perbedaan. Kami tetap memegang prinsip kami. Seorang cendekiawan pandai berbangsa Belanda, pernah mengkaji tentang watak manusia Jawa yang tak berprinsip dalam berkeyakinan. (Dalam novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya A.T). Manusia Jawa, yang awal mula berkeyakinan agama leluhur, berubah prinsip ketika agama Budha datang, budha bercampur kepercayaan leluhur. Kemudian berubah prinsip lagi lantaran datangnya Hindu, mempersatukan Budha dan Siwa dalam  satu kesamaan. Kemudian datanglah Islam merubah prinsip lagi, mengalkulturasikan Kepercayaan leluhur-Budha-Hindu-Islam, hingga jadilah Islam khas Jawa. Dan islam dominan dalam alkulturasi itu lantaran memperoleh kekuasaan yang dipegang oleh raja-raja Jawa. Manusia jawa cenderung berwatak kompromi dan menghindari konflik. Tak berprinsipkah Sunan kali jaga ketika memixing cerita Hindu dalam pewayangan dengan Islam?. Dan sebaliknya, manusia Jawa akan mempertahankan prinsip tatkala, orang luar yang datang tetap mempertahankan prinsip. Oleh karenanya, agama nasrani-pun tersendat penyebaranya di bumi Jawa, karena prinsip manusia Barat (Kolonial) pada waktu itu lebih senang mengunggulkan ras-nya, dan merendahkan manusia Jawa. Begitupun putramu ini, ia tetap mempertahankan prinsip keyakinanya, ketika kekasihnya juga setia mempertahankan prinsip. Namun bukan ego untuk saling merendahkan dan berkonflik. Tapi kami tetap berprinsip dalam indahnya perbedaan. Dan jangan risaukan keturunanmu kelak wahai abah dan umiku sayang. Karena kelak anak-anak kami akan bebas memilih prinsip keyakinanya sendiri. Bukankah keyakinan itu tak bisa dipaksakan? Bukankah keyakinan adalah hati nurani?. Kelak cucumu akan kami ajarkan untuk percaya kepada Tuhan dan bertindak pada nilai-nilai kebajikan, tanpa dihantui rasa takut akan dosa dan siksa neraka. berkeTuhanan dengan rasa tulus dan ikhlas. Soal kendaraan, kelak mereka sendiri yang bebas menetukan.


Abah dan Umi. Putramu ini tak hendak bermaksud mengguruhi, hanya inilah keyakinananku. Aku dan Lani hendak melaksanakan pernikahan secara Katolik, namun putramu tetaplah pada keyakinanya. Dan janganlah menganggapnya suatu yang haram dan zina. Karena ini hanyalah habitual cultur yang sacral dengan rasa tulus dan ikhlas diantara kami. Setidaknya Kami tak melanggar adat. Jika pernikahan kami divonis haram, maka haram juga kita semua sebagai anak cucu Adam. Bukankah, Adam dan Hawa juga tak pernah melangsungkan upacara pernikahan? Semua itu karena keadaan waktu itu. Pernikahan ini tetap sakral karena kami Tetap pada keyakinan masing-masing. Jika kami memakai dua adat masing-masing secara berganti, maka tak berprinsiplah kami. Namun pada akhirnya Tuhanlah yang maha mengetahui. Kami hanya mengawali niat kami untuk suatu kebajikan. Jika Abah dan Umi tak berkenan hadir, maka putramu berharap restumu dalam doa. Karena putramu tetap mengharap restu dan kasih sayang dari orang tuanya, tidak untuk hari ini saja, namun sampai kapanpun.

Abah dan Umi, maafkan putramu ini harus pergi. Kelak insayaallah akan datang kembali dengan membawa indahnya harmoni perbedaan. Dan jika orang tuanya sudi menerimanya kembali.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.



Dengan tidak mengurangi rasa hormat sedikitpun.
Putra yang selalu menyayangi Abah dan Umi,


Rijal Ar Rafi
________________________________________________________

Bismillah,… Ku letakan sepucuk surat ini di meja kamarku. Aku mengemas barang-barangku seperlunya. Segera mengambil mobil dan  menuju tempat Lani. Pergi untuk mewujudkan rencana kami dalam niat kebajikan. Rencana pernikahan kami tanpa restu orang tua. setidaknya untuk sementara ini, mereka masih dalam keadaan shock cultur, suatu hari kelak aku yakin mereka akan mengerti. jika kami dapat membuktikan bahwa air dan minyak bisa bersatu, walau air tetaplah air, dan minyak tetaplah minyak. Tak melebur dan tak bercampur. Namun rekat beriring selaras dalam satu bejana. Bejana dalam indahnya harmoni perbedaan. Insayallah,…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar