Surabaya, 25 Maret 2011. Pukul 02.51 WIB.
By: Puu_
*Cerita
ini adalah satu dari realita sosial yang ada dalam masyarakat
Multikultur. Tidak bermaksud menyinggung salah satu dari kultur yang
ada. Tak bermaksud pula untuk mencari satu pembenaran. Jika ada kesamaan
nama, tempat, tokoh bukanlah suatu kesengajaan. Mohon dimaafkan. ^.^V
Rintik
gerimis sahdu, menderu pelan di atas mobilku yang merapat sayu di sisi
trotoar. Aku menunggu Lani di depan Gereja Santa Ana. Gereja Katolik
berarsitektur spanyol. Patung lelaki berjenggot tebal berdiri agung di
atas beranda gereja, basah kuyub oleh percikan gerimis. Lani menyebut
lelaki itu dengan nama Yesus Kristus, sedangkan aku menyebutnya Isa Al
masih, al-Masih al-Isra’ili bin Maryam. Ia hadir dalam kitab suciku dan
ia juga hadir dalam kitab suci Lani. Pria dari Nazaret itu dahulu
mengorbankan jiwa raganya di bukit Gorgota demi manusia, begitu tutur
Lani yang meyakini lelaki itu sebagai Tuhan. Sedangkan aku menyakini
pria itu sebagai Nabi utusan Tuhan. Ya, suatu perbedaan transenden dalam
hubungan cinta kami.
Francisca Meilani, gadis katolik
yang telah mematri hatiku pada batang salib cintanya. Merentangkanya
dalam buaian asmara yang mengoda. Yang membuatku terpaku untuk tidak
meninggalkanya. Menderaku dengan siksaan rindu dan menancapkan mahkota
duri-duri cemburu kala tak bertemu. Gadis sederhana dengan berjuta
pesona. Pesona dalam teguhnya satu komitmen dalam dua perbedaan yang
dalam. Kurasakan ruh keselarasan dalam harmoni perbedaan. Ruh yang
menghidupkan satu kebersamaan, ruh yang menjiwai satu tujuan satu kasih.
Ruh yang akan tetap melangkahkan dua hati dalam satu jiwa.
Wipper
di kaca depan mobilku menyapu pelan, terus berusaha menyingkirkan
bintik-bintik gerimis yang memburamkan bening kaca. Bergerak beriring
kearah horizontal dan vertikal, seperti gerak syaraf otakku yang terus
berusaha menyapu kegelisahan hati. Kegelisahan tentang rencana
pernikahanku dan Lani, rencana masa depan dengan satu jurang perbedaan
yang dalam. Sudah hampir tiga tahun kami berpacaran, perbedaan itu tidak
pernah mengusik jalinan cinta kami. Karena saling mengerti dan memahami
keyakinan masing-masing. Lani gadis Katolik yang taat, tak pernah
sedikitpun aku memintanya untuk mengganti keyakinannya untuk sama dengan
keyakinanku. Begitu juga Lani yang tetap menghargai keyakinanku.
Setelah sekian lama berpacaran kami memantapkan hati untuk melanjutkan
ke jenjang pernikahan. Satu moment sakral yang dinanti-nanti dalam
cerita cinta dua anak manusia.
Walau kami sudah memiliki
tekad bulat yang satu. Namun colective consainess tak selamanya sejalan
dengan keinginan individu. Dalam agamaku dan agamanya tak ada celah
untuk membangun jembatan yang menghubungkan cinta dalam perbedaan
keyakinan. Jembatan indah yang menghubungkan antara dua hamparan benua
hati yang terpisahkan oleh luas dan dalamnya samudara keyakinan. Apalagi
hukum negeri ini. Hukum negeri ini hanya melegalkan suatu perkawinan
hanya dengan cara satu agama saja. Setelah menemui jalan buntu dari sisi
agamaku. Agamaku hanya mengizinkan jika Lani menjadi mualaf. Namun aku
tidak setuju. Karena jika toh nanti Lani masuk Islam, itu bukan dari
keyakinanya. Karena aku tahu betul tingkat keimanan Katoliknya. Lani
berusaha mencari cara dalam cara agamanya. Berdiskusi dengan Pastor di
Paroki untuk meminta dispensasi. Agama dengan segala eklusifitas
hukumnya tak bisa di ganggu gugat. Mempertanyakan hukum agama berarti
kafir dengan sederet ancaman dosa. Entah mengapa, jikalaupun kita
berkeyakinan dengan tulus adanya Tuhan, tentunya kita tidak perlu lagi
memikirkan ancaman neraka, dosa, siksa alam baka. Kita ikhlas dengan
Tuhan tanpa adanya janji surga dan neraka. Yang terpikir adalah segala
tindakan kita menuju ke muara kebaikan. Ketakutan kita hanya satu
perbuatan kejahatan berarti menghianati Tuhan. Salahkah aku jika hendak
mempersunting gadis lain keyakinan? Jahatkah aku jika kelak hendak
beristri gadis lain keyakinan?
Lani terlihat berjalan
tenang dari pintu gereja. Berjalan lentik, anggun mempesona. Perpaduan
rok putih berenda bawah lutut dengan atasan batik corak halus,
memperindah gerakan tubuhnya yang langsing. Rambut bleaching tipis yang
dibiarkan terurai, dengan agak blonde yang menggantung pada
ujung-ujungnya. Style feminim khas Lani, oh gadisku. tak bisa aku
pungkiri, Sebagai manusia lelaki dengan segala sifat kemanusiaanku, aku
mengagumi fisiknya yang indah, namun bukan itu yang utama, karena fisik
bisalah berubah mengikuti hukum waktu. Segar bisa menjadi layu, muda
pada akhirnya menjadi tua. Aku mencintai Lani dengan ketulusan, atas
rasa ikhlasnya yang tetap teguh mempertahankan cinta dalam perbedaan
diantara kami. Keihlasanya mencintaiku menjadi kunci bertahanya cinta
ini. Matanya yang belo’ menyisir jalanan depan gereja mencari
keberadaanku. Aku lekas membuka kaca mobil dan melambaikan tangan
kepadanya. Disambutnya aku dengan dengan senyuman manis, terlihat jelas
pesonanya diantara gerimis yang tercecer menyejukan. Dalam gerimis tipis
ia berlari kearahku, agak tergopoh membuka pintu dan masuk ke dalam
mobil menghindari keroyokan partikel-partikel air.
Aku memandanginya pelan dengan gesture tak sabar untuk segera mengetahui hasil diskusinya dengan pastur.
“Gimana sayang, hasil diskusi dengan Romo tadi?”.tanyaku sembari menyodorkan handuk kecil kepadanya.
Lani
mengusap bintik-bintik air di mukanya yang halus, tersenyum gembira
bercampur resah. Resah jika aku tak sepakat denganya. ia menjelaskan
hasil diskusinya dengan pastur. Ia menuturkan bahwa dalam katolik
Perkawinan beda agama bukanlah hal yang ideal, harus ada izin Uskup
kalau seorang Katolik ingin menikah dengan orang yang beda agama. selain
itu masih harus memenuhi syarat, yaitu Perkawinan dilakukan secara
Katolik, Lani harus tetap mempertahankan iman katoliknya, dan kami harus
sepakat bahwa anak-anak kami kelak akan diBaptis secara Katolik dan
dididik dalam iman Katolik, dan Lani sebagai pihak Katolik harus
bersedia berupaya sebisanya untuk ini.
Alhamdullah sedikit
titik terang terlihat. Ada celah untuk kami mewujudkan impian
pernikahan. Aku menyanggupi syarat pertama dan kedua. Bukan,.. bukan
lantaran aku menghalakan segala cara untuk mencapai keinginan. Namun
hanya inilah jalan satu-satunya untuk melegalkan pernikahan kami. Aku
pun tidak hendak keluar dari keyakinanku. Aku tetap teguh dalam
keyakinanku, begitu juga Lani. Jikalapun pernikahan ini bakal
berlangsung diluar keyakinanku, bukan berarti aku mengingkari
keyakinanku. Kurasa Tuhan maha mengetahui. Aku tetap percaya satu,
Tuhanku yang juga Tuhannya Lani. Hanya kendaraan kami menuju Tuhan yang
berbeda. Tentang syarat yang ketiga. Kami sepakat kelak akan memberikan
kebebasan kepada anak-anak kami untuk memilih jalanya sendiri dalam
bimbingan kami. Bukan pula Lani hendak mengkari janjinya pada gereja.
Namun itu hanya pernyataan dalam kesaksian. Dan jika melanggar itu
adalah urusan moral dengan gereja. Hanya Tuhan yang maha mengetahui,
Karena keyakinan bukanlah suatu warisan, namun tumbuh kembang dari hati
nurani.
Binar bahagia belumlah terang terwujud. Tantangan
selanjutnya yang harus kami lewati adalah orang tua kami.
Manusia-manusia mulia yang tulus ikhlas merawat, mendidik dan
membesarkan kami. Mahluk Tuhan yang mengemban titah sebagai alat untuk
memproduksi daging-daging bernyawa yang disebut manusia. Daging-daging
bernyawa yang menjalankan tugas sebagai punghuni alam raya. Sebagai
kalifah Tuhan yang berkuasa atas mayapada. Orang tua kami masing-masing
selama ini hanya mengetahui kalau hubungan ini hanya sekedar teman
biasa. Lantaran perbedaan keyakinan, kami tak memberitahukan bahwa kami
adalah sepasang kekasih. Namun kini sudah tiba saatnya untuk aku dan
Lani berterus terang pada orang tua kami masing-masing.
******************
Malam
selepas isya’, Abah terlihat duduk santai di sofa ruang tamu,
membelakangi pigura kaca bergambar kota suci Mekah, tenunan karpet
Turki berbentuk ka’bah dan masjidil Haram yang dipenuhi manusia-manusia
yang sedang menyempurnakan imanya. Dengan deretan kaligrafi dari ayat
kursi sampai surat Al Fatihah yang mengitari dinding ruangan. Raut wajah
tuanya terlihat cerah oleh bekas air wudlu sholat isya. Berbaju koko
dengan peci haji yang serupa dengan uban yang mulai memenuhi rambutnya.
Tangan kirinya memegang satu kitab bercover ukiran corak arab, dengan
tulisan arab yang berlafal ushul fikih al-Syafii. Memilah-milah halaman
demi halaman untuk dibacanya. Ia seorang muslim yang taat. Terus
memperdalam kitab-kitab pengetahuan ilmu agama. Bahkan namaku pun di
ambil dari bahasa arab, Rijal Ar Rafi, yang konon artinya Lelaki yang
memuliakan. Dari nama itu Mungkin ia berharap anak lelakinya ini,
sebagai orang yang selalu memuliakan/menghargai orang lain. Dulu sewaktu
kecil aku memanggilnya Ayah dan setelah naik haji, ia lebih suka untuk
dipanggil abah. Semenjak itu, ia semakin gandrung dengan kultur arab.
Sampai-sampai arsitektur pintu rumah di rubah menjadi pelengkung mirip
kubah masjid. Ia tak lagi suka mendengarkan musik campursari dan
berganti gandrung dengan musik sholawat dan gambus. Ia Nampak menemukan
suasana batin yang mempertebal keimananya dalam Islam. Kendaraan menuju
Tuhan yang dinahkodai oleh seorang pria Arab bernama Muhammad. Nahkoda
yang kuagungkan sebagai manusia mulia dengan segenap sifat
kemanusiaanya.
Aku menghampiri abah dengan langkah gugup.
Ku tindas rasa gugupku dengan memberi salam dan mencium taksim
tangannya. Ia meletakkan kitab di tanganya ke atas meja. Menyeka muka
dengan dua telapak tangan, dengan suara pelan berdesis hamdallah. Ya,
itulah abahku, muslim taat yang selalu mengawali aktivitas dengan
opening basmallah dan closing hamdallah. Muslim taat yang memaknai
tingkah polahnya sebagai ibadah, dengan peranti pendukung segala sesuatu
kultur dimana agamanya lahir. Dengan senyum penuh wibawa menyambutku,
dilanjut dengan sederet perbincangan tentang, hal-hal aktual, aktivitas
dan pekerjaanku. Aku sengaja lebih banyak membahas tentang isu-isu
pergeseran kelompok-kelompok agama yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Ingin mengetahui kadar tanggapanya tentang perbedaan keyakinan. Dari
konflik Ahmadiyah sampai terror bom. Ia menanggapi berbagai peristiwa
itu dengan penuh rasa penyesalan. Penyesalan atas kekerasan-kekerasan
yang seharusnya tak perlu dilakukan. Penyesalan atas ternodanya citra
agamanya karena tindakan-tindakan tersebut. Abah memang seorang muslim
fanatik akan islam dengan segala pirantinya, namun fanatik yang
dibarengi rasa toleransi.
Dalam resah aku mencari celah
dan kesempatan untuk menyampaikan niatku untuk mempersunting Meilani.
Lebih tepatnya meminta restu. Sampai pada akhirnya kutemukan jeda waktu
yang tepat, setelah kurasa abah mulai asik dengan perbincangan ini.
Sangat hati-hati dan sunguh-sungguh kesampaiakn niatku kepadanya. Dalam
hati aku mengharap sangat, dari sifat toleransi beragamanya dari
perbincangan pembuka tadi, berharap ia dapat memahami dan memberikan
restu rencana pernikahanku dan Lani.
Setelah kusampaikan
niatku. Suasana berubah menjadi beku. Ditariknya nafas dalam-dalam.
Kurasakan mimik mukanya yang agak terkejut. Walau tak Nampak jelas.
Sebentar ia memandangiku, menoleh dan menebar pandang ke dinding-dinding
ruang tamu yang penuh hiasan kaligarfi. Mungkin ia menyadari dan
berfikir bahwa putranya sengaja memperbincangkan masalah perbedaan
keyakinan sejak awal, yang pada ujungnya bermuara pada permasalahan anak
lelakinya tersebut. Permasalahan yang menyeret dirinya pada pergulatan
batin. Kalau dalam perbincangan awal tadi posisinya hanya sebagai
komentator, maka kini ia masuk sebagai salah satu aktor dalam lakon
perbedaan keyakinan. Aktor yang tidak hanya mengomentari, tetapi
langsung terlibat. Oh, maafkan aku abahku sayang…..
“Nak,…..” dengan suara berat ia memecah kebekuan diantara kami.kemudian melanjutkan ucapanya. “Sepenuh
hati, abah menyadari adanya perbedaan. Sepenuh hati abah menjunjung
toleransi, oleh karenanya abah tak pernah melarangmu bergaul dengan
Lani”
Aku hanya terdiam dan berdebar mendengarkan satu-persatu ucapanya. Dan menunggu kelanjutan perkatanya.
“Abah
tidak mempermasalahkan pergaulanmu dengan Lani, tapi hanya untuk ranah
silahturahmi sesama manusia, bukan ranah tauhid, teologi. Kamu tahu nak,
apa hukum pernikahan beda agama dalam agama kita?. Haram nak, haram..
kafir ingatlah itu”. Kini suara abahku berubah semakin meninggi.
“Maaf
abah, bagaimana dengan surat al-Maidah ayat 5? Bukankah seorang
laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan ahlul kitab
(non-muslim dalam lingkup agama samawi)”. Aku mencoba memberi dasar atas keputusan yang hendak aku jalani.
Bergegas ia menegakakan duduknya. “benar
nak, tapi kau juga harus membaca surat Ali Imran ayat 113. Ahlul kitab
yang bagaimana? itulah yang harus kamu ketahui. Lebih banyak mafsadatnya
dari pada maslahatnya”.
Ia menambahkan, dan kini kata-katanya keluar dengan suara yang lebih tegas. “Renungkanlah
nak!!!, mau jadi apa rumah tanggamu kelak, dengan perbedaan keyakinan?
Mau jadi apa kau kelak? Mau jadi apa istrimu kelak? Mau jadi apa
anak-anakmu kelak?. Kalian hanya akan jadi manusia-manusia yang tak
berprinsip. Manusia-manuisia yang menanggalkan prinsip demi nafsu
keduniawian. Manusia-manusia yang akan menjadikan keturunanku menjadi
manusia tak berprinsip. Atau mungkin kau tak menganggap lelaki tua ini
sebagai abahmu lagi?”.
Umi tergopoh
menghampiri kami. Ia terlihat tergopoh dari ruang belakang, lantaran
mendengar suara abah yang tak biasanya menjadi keras. Namun tak ada yang
bisa ia perbuat untuk membelaku dari amukan kata-kata abah. Dari tempat
duduknya abah segera berdiri, dan segera mengajak Umi meninggalkan
ruang tamu. Umi sekilas memandangiku iba. Dua orang manusia yang telah
membesarkanku itu Nampak kecewa dengan putranya. Anak lelaki yang selalu
dinanti kehadiranya kala ia masih mendekam dalam rahim. Dididik dan
dibesarkan dengan peluh dan kasih, kini melukai hati mereka. Tak kalah
sengit, orang tua Lani. Ia seraya menangis menelponku, “terang tak bisa bersatu dengan gelap”. Katanya menirukan perkataan orang tuanya.
***********************
Oh,..
Tuhan ampuni aku. Tak ada maksud aku menyakiti mereka. Tak sedikitpun
tergores niat untuk mengecewakan mereka. Mengecewakan mereka kah jika
aku hendak menunjukkan indahnya perbedaan?. Ya, Perbedaan agama,
perbedaan yang menjadi sebab perang salib harus terjadi, perbedaan yang
menjadi sebab serentetan peristiwa terror Bom di negeri ini, perbedaan
yang menjadi sebab orang-orang berjubah dan sok suci
petantang-petenteng, mengkafirkan kelompok lain. Memukul, menghantam dan
dengan bringas ingin memusnahkan manusia-manusia yang dianggapnya
kafir. Oh,.. bukan..bukan.. bukan lantaran agama semua itu terjadi,
namun lantaran perebutan kekuasaan. Agama itu suci adanya, sakral
adanya, namun akan menjadi kotor ketika sudah menjelma menjadi
kekuasaan. Sumpah jabatan dibawah kitab suci-pun tak bisa menjadi
patokan bagi penguasa untuk tidak lalim.
Aku tak sanggup
membendung amarah abahku secara langsung. Tak sanggup aku mengeluarkan
kata-kata yang menguatkan niatku di depan lelaki yang aku hormati itu.
Sehingga Ku tulis sepucuk surat untuk Abah dan Umi.
Mail :
_____________________________________________________________
Yth. Abah dan Umi.
Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Abah dan Umi sayang,…
Sembah sujud dan hormatku selalu meyertai,..
Abah
Umi, sumpah demi Allah SWT, putramu masih teguh menyakininya sebagai
Tuhan. Tuhan sekalian alam, yang maha pengasih dan penyayang. Tuhan bagi
sekalian alam dengan Muhammad sebagai rasulnya yang tetap aku muliakan.
Dengan tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat, putramu juga masih
teguh menghargai Abah dan Umi sebagai orang tuanya. Sumpah demi Allah,
tak sedikitpun terbesit keinginan untuk membuat abah dan umi kecewa.
Abah
dan Umi, maafkan putramu ini jika hari ini tetap teguh pada
pendirianya. Pendirian yang tak berkenan dihati abah dan umi. Pendirian
untuk tetap teguh beristrikan Meilani. Meilani sigadis ahlul kitab.
Janganlah anggap kami tak mengindahkan orang tua dan menghukum kami
sebagai anak-anak durhaka. Namun, mengertilah, kami hendak menunjukan
indahnya nada-nada dalam harmoni perbedaan. Bukankan abah dan umi
sepenuh hati menghargai perbedaan berkeyakinan. Sama sekali kami tak
mengutik-utik perihal teologi. Putramu masih setia pada keislamanya,
begitu juga calon menantumu (jika abah dan umi tak berkeberatan
menyebutnya demikian). Meilani gadis katolik yang taat, ia juga tetap
setia pada keyakinanya pada Katolik. Tak sedikitpun ada niatan pada kami
untuk mencampuradukan keyakinan untuk satu persamaan. Tak ada niat
sedikitpun pada kami untuk saling membujuk untuk berpindah keyakinan.
Yang kami yakini Tuhan hanya satu. Jika banyak orang berfaham demokratis
mengatakan bahwa perbedaan agama layaknya pepatah “Banyak jalan menuju
Roma, banyak jalan juga menuju Tuhan”, namun bukan itu yang kami yakini.
Yang kami yakini Tuhan itu satu, namun untuk menujunya dengan kendaraan
yang berbeda-beda. Ibaratnya, kami hendak menuju pulau yang sama. namun
kami menyebrangi lautan dengan perahu yang berbeda. Perahu yang berbeda
tersebut bisa berjalan beriringan di atas lauatan yang luas.
Perahu-perahu tersebut, adalah keyakinan kami. Walau berbeda kendaraan,
namun kendaraan tersebut bisa berjalan beriring di atas lautan rumah
tangga kami. Dan kami menuju pulau yang sama, yaitu Tuhan.
Abah
dan Umi, kami bukan orang yang tak berprinsip lantaran hidup dalam
perbedaan. Kami tetap memegang prinsip kami. Seorang cendekiawan pandai
berbangsa Belanda, pernah mengkaji tentang watak manusia Jawa yang tak
berprinsip dalam berkeyakinan. (Dalam novel “Bumi Manusia” karya
Pramoedya A.T). Manusia Jawa, yang awal mula berkeyakinan agama leluhur,
berubah prinsip ketika agama Budha datang, budha bercampur kepercayaan
leluhur. Kemudian berubah prinsip lagi lantaran datangnya Hindu,
mempersatukan Budha dan Siwa dalam satu kesamaan. Kemudian datanglah
Islam merubah prinsip lagi, mengalkulturasikan Kepercayaan
leluhur-Budha-Hindu-Islam, hingga jadilah Islam khas Jawa. Dan islam
dominan dalam alkulturasi itu lantaran memperoleh kekuasaan yang
dipegang oleh raja-raja Jawa. Manusia jawa cenderung berwatak kompromi
dan menghindari konflik. Tak berprinsipkah Sunan kali jaga ketika
memixing cerita Hindu dalam pewayangan dengan Islam?. Dan sebaliknya,
manusia Jawa akan mempertahankan prinsip tatkala, orang luar yang datang
tetap mempertahankan prinsip. Oleh karenanya, agama nasrani-pun
tersendat penyebaranya di bumi Jawa, karena prinsip manusia Barat
(Kolonial) pada waktu itu lebih senang mengunggulkan ras-nya, dan
merendahkan manusia Jawa. Begitupun putramu ini, ia tetap mempertahankan
prinsip keyakinanya, ketika kekasihnya juga setia mempertahankan
prinsip. Namun bukan ego untuk saling merendahkan dan berkonflik. Tapi
kami tetap berprinsip dalam indahnya perbedaan. Dan jangan risaukan
keturunanmu kelak wahai abah dan umiku sayang. Karena kelak anak-anak
kami akan bebas memilih prinsip keyakinanya sendiri. Bukankah keyakinan
itu tak bisa dipaksakan? Bukankah keyakinan adalah hati nurani?. Kelak
cucumu akan kami ajarkan untuk percaya kepada Tuhan dan bertindak pada
nilai-nilai kebajikan, tanpa dihantui rasa takut akan dosa dan siksa
neraka. berkeTuhanan dengan rasa tulus dan ikhlas. Soal kendaraan, kelak
mereka sendiri yang bebas menetukan.
Abah dan
Umi. Putramu ini tak hendak bermaksud mengguruhi, hanya inilah
keyakinananku. Aku dan Lani hendak melaksanakan pernikahan secara
Katolik, namun putramu tetaplah pada keyakinanya. Dan janganlah
menganggapnya suatu yang haram dan zina. Karena ini hanyalah habitual
cultur yang sacral dengan rasa tulus dan ikhlas diantara kami.
Setidaknya Kami tak melanggar adat. Jika pernikahan kami divonis haram,
maka haram juga kita semua sebagai anak cucu Adam. Bukankah, Adam dan
Hawa juga tak pernah melangsungkan upacara pernikahan? Semua itu karena
keadaan waktu itu. Pernikahan ini tetap sakral karena kami Tetap pada
keyakinan masing-masing. Jika kami memakai dua adat masing-masing secara
berganti, maka tak berprinsiplah kami. Namun pada akhirnya Tuhanlah
yang maha mengetahui. Kami hanya mengawali niat kami untuk suatu
kebajikan. Jika Abah dan Umi tak berkenan hadir, maka putramu berharap
restumu dalam doa. Karena putramu tetap mengharap restu dan kasih sayang
dari orang tuanya, tidak untuk hari ini saja, namun sampai kapanpun.
Abah
dan Umi, maafkan putramu ini harus pergi. Kelak insayaallah akan datang
kembali dengan membawa indahnya harmoni perbedaan. Dan jika orang
tuanya sudi menerimanya kembali.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat sedikitpun.
Putra yang selalu menyayangi Abah dan Umi,
Rijal Ar Rafi
________________________________________________________
Bismillah,…
Ku letakan sepucuk surat ini di meja kamarku. Aku mengemas
barang-barangku seperlunya. Segera mengambil mobil dan menuju tempat
Lani. Pergi untuk mewujudkan rencana kami dalam niat kebajikan. Rencana
pernikahan kami tanpa restu orang tua. setidaknya untuk sementara ini,
mereka masih dalam keadaan shock cultur, suatu hari kelak aku yakin
mereka akan mengerti. jika kami dapat membuktikan bahwa air dan minyak
bisa bersatu, walau air tetaplah air, dan minyak tetaplah minyak. Tak
melebur dan tak bercampur. Namun rekat beriring selaras dalam satu
bejana. Bejana dalam indahnya harmoni perbedaan. Insayallah,…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar