Kamis, 12 Januari 2012

The Woriorr Princess (Chapter V)

Cerita ini diadopsi dari kuliah lapangan Sosiologi Kemiskinan. cerita seorang perempuan perkasa, yang bekerja sebagai tukang rombeng, mengarungi hidup dalam kemelut kemiskinan di perkotaan. Terangkum dalam bentuk laporan novel "Catatan Dari Sudut Perkampungan Kota Surabaya" Pada Chapter V.
By : Puu

Pagi hari yang dingin, setelah hujan yang turun tengah malam tadi. Aku sebenarnya masih malas untuk bangun. Akan tetapi aku harus tahu diri bahwa aku sedang berada di rumah orang. Rumah keluarga miskin yang sedang aku singgahi untuk riset, sehingga membuatku tidak enak hati jika masih tertidur. Pak Muslich terlihat mempersiapkan keperluan David untuk ke sekolah. Sedangkan Debby sudah siap dengan seragam sekolah, perpaduan warna cokelat muda pada bagian atas, dan cokelat tua pada bagian bawah. Mirip seragam Satpol PP wanita, namun bukan baret yang ia kenakan tapi jilbab minang yang membungkus rapat kepalanya kecuali bagian muka. Pada lengan kirinya terdapat simbol balok merah tingkat Ramu, sedangkan lengan kirinya tertempel lambang Jawa Timur. Kemudian dada kirinya terdapat sebuah kotak kecil warna ungu lambang Pandu Dunia, dan dada kirinya terdapat segitiga cokelat yang bergambar tunas kelapa. Serangkaian badge yang tertempel pada seragam, yang menunjukan bahwa ia adalah anggota Pramuka level Golongan Penggalang. Keanggotaan gerakan Pramuka yang disandang semua siswa setingkat SMP. Sebuah gerakan pembentukan kedisiplinan anak bangsa yang diragukan oleh anggota DPR RI. Sehingga memerlukan mereka untuk repot-repot kunjungan ke negerinya Nelson Mandela, hanya sekedar belajar Pramuka. Konyol memang, belajar Pramuka di negeri yang terdapat garis pemisah antara si-hitam dan si-putih. Dulu si-putih menguasai si-hitam dan sekarang sebaliknya si-hitam menguasai si-putih. Tak perlu repot-repot pergi ke Afrika Selatan, Semua anggota Pramuka Indonesia juga fasih tentang Dasadarma Pramuka, baris berbaris, salam pramuka, morse, tali temali atau sekedar mengadakan Jambore. Harusnya anggota DPR RI itulah yang harus belajar desiplin pribadi agar tidak bolos waktu sidang. Akan lebih baik kalau uang negara yang mereka gunakan pelesiran dipakai untuk mengentaskan kemiskinan disini, di tempat orang-orang miskin yang sedang aku teliti ini.

Pak Muslich terlihat mengambil seonggok kayu kearah dapur. Mungkin saja untuk keperluan mak Ti yang sedang memasak di dapur. Jam delapan nanti rencananya mereka berangkat mencari rombeng. Sambil menunggu aku menikmati pagi yang dingin, duduk disebatang bangku yang berada kayu di sisi gang kismin. Melihat serangkaian kegiatan pagi hari warga gang kismin dengan tanah yang masih terlihat sendu oleh sisa-sia air hujan semalam. Seorang lelaki muda menghampiriku, tetangga pak Muslich. Setelah berbincang beberapa saat aku mengetahui biografi singkatnya. Dia bernama mas Eko, berprofesi sebagai penjual nasi goreng keliling. Seorang perantauan dari Mojokerto yang tinggal di gang kismin ini bersama istri dan dua orang anaknya. Perantaun yang tertarik dengan hingar binger kota Surabaya. Tertarik dengan harga nasi goreng di jalanan Kota Surabaya bisa di jual lebih mahal dari pada di jalanan di desanya.

Mas Eko begitu ramah, bercerita tentang burung-burung peliharaanya yang sedang dijemurnya. Burung-burung yang harganya bisa ratusan ribu jika dirawat dengan baik. Ia bercerita tentang dirinya yang hampir sepuluh tahun mengeluti dunia kuliner sektor informal. Berjualan nasi goreng keliling jalanan Kota Surabaya. Aku-pun mendengarkan ceritanya dengan kidmat, dan sesekali bertanya. Ketika perbincangan memasuki tema tentang keluarga Pak Muslich, kekidmatan sebagai seorang pendengar semakin taat. Mas Eko sudah bertetangga dengan keluarga tukang rombeng tersebut selama sepuluh tahun lebih, walaupun ia tak kunjung juga mengajukan permohonan untuk menjadi warga Dukuh Karangan. Mas Eko bercerita tentang anak-anak pasangan suami istri tukang rombeng tersebut, cerita basi yang sudah aku dengar dari Mak Ti sendiri tempo hari. Namun mataku membelalak, ketika mendengar informasi ter-up date dari mas Eko selanjutnya. Ternyata tulang punggung pada keluarga tukang rombeng ini bukanlah Pak Muslich akan tetapi Mak Ti. Sebuah informasi yang mematahkan anggapanku selama berada dalam keluarga ini. Aku menyangka Pak Muslich adalah tulang punggung keluarga yang bekerja di bantu oleh istrinya untuk meringankan beban keluarga. Ternyata dugaanku berbalik tiga ratus enam puluh derajat lebih setengah.

Pak Muslich yang sejak awal aku sangka sebagai lelaki krempeng namun perkasa dalam menafkahi keluarganya ternyata tidak lebih dari seorang pria yang menggantungkan hidup pada istrinya. Pak muslich dulunya malas bekerja, kerjaanya hanya tidur melulu. Hanya dua tahun terakhir ini saja dia ikut membantu pekerjaan istrinya. Kebenaran informasi dari mas Eko tersebut aku buktikan dengan sederet pertanyaanku tempo hari. Pertanyaan hati yang terjawab. Pertanyaan hatiku, pertanyaan-pertanyaan tentang mak Ti yang nampak mendominasi dalam segala hal di keluarga ini, tentang  mak Ti yang mengusung tong-tong bekas kaleng cat ukuran besar setiap sore, mengambil air dari sumur tentangga untuk keperluan keluarga. Pertanyaan hatiku tentang mak Ti yang mengurusi segala administrasi keuangan jual beli rombeng ketika mereka bekerja.

 Mak Ti adalah Panglima keluarga miskin ini. Mak Ti yang memberi komando, yang menetukan mau diapakan keluarga ini. Seumpama sebuah negara, mak Ti yang menetukan perang atau tidaknya negara tersebut. Sehingga aku memberi julukan khusus kepada mak Ti  “The Princess Woriorr”. Sebuah julukan yang juga dimiliki Lucy Lawless ketika berperan sebagai Xena dalam serial film fiktif karya Rob Tapert yang berjudul “Xena Princess Woriorr”. Xena seorang kesatria perempuan yang bertualang di dunia mitologi yunani/romawi untuk mendapatkan ampunan dari dewa akan kekejamanya sebagai panglima perang di masa lampau. Bersenjatakan kelincahan, keahlian bermain pedang dan tentu saja senjata spesialnya Chakram. sebuah senjata lempar berbentuk gelang besi yang mampu kembali ke pemiliknya bak bumerang. Mak Ti aku sejajarkan dengan Xena, sama-sama kesatria perempuan. Mak Ti bersenjatakan kelincahan mencari barang rombeng dari rumah ke rumah, keahlianya memberi harga pada barang rombeng, yang tahu pasti kapan harus mengambil untung banyak dan kapan harus mengambil untung sedikit, tentu saja tidak ketingalan senjata spesialnya timbangan lantai, yang menetukan berat barang rombeng dengan uang yang harus ia keluarkan dan akan mendapat keuntungan berapa, tak ketinggalan si-Gerobak Civic Mugen RR (suatu nama keren dari mobil produksi Honda, yang kuberikan pada sebuah gerobak rombeng. hoho) yang setia meringankan beban mengankut barang-barang rombeng. Walaupun dari segi body, Mak Ti kalah jauh sama Xena. Xena kesatria wanita bertubuh sexy dengan dada yang montok membuncang tinggi, sedangkan mak Ti hanyalah perempuan krempeng, kurus kering dan tak terdapat secenti-pun daging pada dadanya. Namun mak Ti memiliki keunggulan yang jauh dari pada Xena. Mak Ti adalah seorang Ksatria perempuan pada dunia nyata, cerita kehidupan yang benar-benar terjadi, sedangkan Xena hanyalah ksatria perempuan fiktif, yang hanya ada dalam sebuah film hasil rekyasa, sekalipun cerita dalam film tersebut tidak pernah terjadi di alam nyata.

 Aku membayangkan bagaimana kondisi dua tahun silam, sawaktu Pak Muslich tidak membantu pekerjaan istrinya tersebut. Sewaktu sang suami malas-malasan, tentu mak Ti seorang diri berusah payah mencari barang rombeng keliling perumahan. Mendorong gerobak Civic Mugen RR dengan tubuhnya yang kerempeng seorang diri. Menyusuri perumahan dengan langkah kesepian tanpa ada anak maupun suami yang membantu. Sesuai dengan anggapanku semula, tentunya ia adalah seorang yang sabar. Yang menerima keluarganya apa adanya, kalau tidak tentunya sudah cerai pasangan suami istri tukang rombeng ini. Istri yang mana yang akan setabah dan sesetia dengan suaminya yang malas bekerja, anak-anaknya yang tak bisa diandalkan, keluarga yang hidup dalam garis kemiskinan seperti ini.

Mak Ti,.. secara khusus aku angkat topi untuk perempuan penyabar penyayang ini. Aku Semakin menaruh simpati yang besar kepadanya. Hingga perempuan ini tidak sekedar aku samakan dengan sosok ksatria perempuan fiktif lagi, namun kini aku  juga akan mensejajarkanya dengan tokoh ksatria perempuan dalam cerita nyata. Aku samakan Mak Ti dengan Opha M. Johnson. Seorang sosok perempuan pertama di dalam kesatuan Korps marinir Angkatan laut Amerika serikat yang ikut berperang langsung dengan tentara Jepang. di saat wanita lainya hanya mendapatkan tugas sebagai juru masak dan juru cuci marinir, ia justru mendapatkan tugas sebagai pengatur serangan laut angkatan Laut marinir Amerika serikat di Perang dunia ke-II. Begitu juga mak Ti, disaat suaminya sebagai kepala keluarga tak bisa diandalkan, ketika anak-anaknya yang sudah besar tidak bisa di harapkan dan pada posisi seperti ini kebanyakan wanita memilih bercerai dengan suaminya, justru makti tetap setia mempertahankan keluarga ini. Ia rela maju ke medan pekerjaan sebagai tukang rombeng. Seorang diri membanting tulang untuk menafkai kelurganya seorang diri.

Semula aku kira sistem Patriarki masih melekat kuat pada keluarga ini. Keluarga Jawa yang mengambarkan Seorang istri yang tunduk patuh atas kepemimpinan suami. Suami dengan gaya kepemimpinan yang menganut Hastha Brata. Kepemimpinan khas manusia Jawa dengan pengaruh feodalistik yang kuat. Sosok pemimpin yang memerintah, berinisiatif, imam yang taat, melindungi, bijaksana, membimbing, mendidik dan menerima keluhan. Suami yang memegang kendali pada keluarga. Atas apa yang harus dilakukan anggota keluarga. Suami yang menanggung nafkah untuk menghidupi keluarga, sedangkan istri hanya sebagai konco wingkeng yang mana Perempuan hanya berada di sektor domestik. yang menanggung tugas 3M (Macak/berdandan, Masak/memasak, dan Manak/melahirkan) atau 3-ur (Sumur, dapur, dan kasur ). Namun semua itu terbantahkan di keluarga ini. Keluarga miskin yang beranggotakan delapan orang dengan seorang istri sebagai Pemimpin.

Berjayalah gerakan feminisme disini. Menanglah pemikiran yang menuntut kesetaraan gender bagi kaum perempuan tersebut. Gerakan yang melihat posisi perempuan yang tidak mendapatkan keadilan dari kaum laki-laki. Perempuan selalu berada pada posisi di bawah laki-laki tidak hanya sewaktu berhubungan seks saja, tetapi juga dalam hal peran.perempuan selalu dianggap kurang tetap jika ditempatkan pada posisi utama. Perempuan selalu berada dalam control laki-laki. sehingga gerakan ini mempelopori untuk merubah ketidakadilan terhadap kaum perempuan tersebut. Andai saja para pelopor gerakan feminisme itu ada disini, tentunya mereka akan girang melihat Mak Ti. Seorang perempuan tukang rombeng yang mengerti makna kesetraan gender. Perempuan krempeng yang tidak pernah mengeyam bangku kuliah, tidak mengenal istilah feminisme, tidak pernah tahu apa itu ketimpangan gender. Jika mengetahui sekalipun dia akan sulit mengucapkan kata dalam ejaan asing yang berbunyi “feminisme” tersebut. karena untuk mengucapkan kalimat salam dalam dalam bahasa Indonesia “selamat pagi’ itupun masih medok dan belepotan. Namun mengerti makna dari istilah-istilah tersebut. Seorang perempuan yang dapat menyamakan dirinya setara dengan kaum laki-laki tanpa harus meniggalkan takdirnya sebagai seorang perempuan. Jika saja ada “feminisme award”, maka dia bisa masuk nominasi penghargaan tersebut.

Mak Ti, The Worrior Princess yang berjuang menghidupi keluarganya dalam kemiskinan. Perempuan yang bekerja pada sektor publik. Pernah suatu hari ia bercerita, bahwa dulunya sebelum ia bekerja sebagai tukang rombeng. Yaitu sewaktu masih lajang, ia adalah seorang petani yang menggarap lahan pertanian milik orang tuanya. Suatu pekerjaan yang menjadikan dirinya tuan bagi dirinya sendiri. Tak perlu ia menunggu perintah dari majikan. Tak perlu ia mengantri didepan mandor untuk menerima upah kerja. Ia pun bebas kapan harus mengarap tanahnya dan kapan harus beristirahat tidak menggarap tanahnya. Tidak ada yang memerintahnya, menyuruhnya ini itu. Ia manusia bebas yang bisa berbuat apa saja tanpa aturan sang tuan. Ia adalah tuan bagi dirinya sendiri.
Hingga suatu ketika bersamaan semakin semaraknya Kota Surabaya, semakin melebarnya wilayah pemungkiman di kota ini, datanglah para konglomerat para investor dan pemborong. Gerombolan pebisnis properti ini hendak membeli sawah mak Ti dan sawah-sawah lainya milik tetangganya. Entah bagaimana bujuk rayu mereka, hingga akhirnya para petani menyanggupi untuk menjual sawah mereka kepada gerombolan pebisnis properti tersebut. Mak Ti yang melihat para petani lain menjual sawahnya, tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan sawah milik keluarganya tersebut. Jika mak Ti tetap mempertahankan maka dia akan menjadi Petani yang kesepian  mengarap sawahnya yang tidak produktif karena banguan-bangunan yang mengitarinya,  akan menjadi seorang petani seorang diri karena sawah-sawah lain disampinya sudah dijual dengan harga yang menurut petani sangat tinggi, tetapi menurut segrombolan pebisnis properti tersebut merupakan harga yang rendah, harga sepele yang bisa menghidupi keluarga mereka tujuh turunan. Dan jika harus menjualnya-pun, dia tidak tahu harus bekerja apa. Selama itu keahlianya adalah bertani, Jika harus menjadi petani lagi, ia harus membeli sawah yang lokasinya jauh dari rumahnya dan dengan harga mahal. Akhirnya si-petani Miati terpaksa menjual tanahnya.
Ketika sawah-sawah mereka sudah di tanami rumah-rumah eksklusif dengan gapura-gapura perumahan yang di jaga satpam. Tertata rapi dengan Jalan-jalan aspal dan paving. Taman-taman bermain untuk anak-anak, lapangan basket dan taman-taman yang indah disepanjang jalan perumahan. Perumahan yang berdiri di atas tanah bekas persawahan. Para petani yang dulunya hidup dari hasil bumi yang di tanam di atas tanah-tanah perumahan tersebut, gini hanyalah orang-orang yang bingung tak punya pekerjaan. Akhirnya mereka-pun harus bekerja pada tuan-tuan yang tinggal di perumahan tersebut. Tanah perumahan yang dulu pernah menjadikan para petani menjadi tuan bagi dirinya sendiri, kini harus berbalik menjadi jongos di atas tanah-tanah tersebut. Istri-istri menjadi babu dan suami-suami menjadi tukang kebun. Sedangkan mak Ti sendiri dengan jumawanya menolak untuk menjadi babu. Baginya menjadi babu hanya pekerjaan yang menjengkelkan, diperintah sekenanya. Hanya memjadi manusia pesuruh yang tak bisa bebas berbuat sesukanya. Mak Ti lebih memilih menjadi tukang rombeng, walau miskin sekalipun. Karena dia bisa menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Bebas berkehendak pada dirinya sendiri tanpa harus mengharap belas kasihan majikan. Dia menjadi tuan bagi dirinya sendiri dengan mencari barang-barang rombeng di perumahan bekas sawahnya dulu. Dia tetap menjadi tuan bagi dirinya di tanah tersebut. Walaupun hanya sebagai tukang rombeng miskin, namun baginya bekerja secara mandiri lebih baik dari pada bekerja pada orang lain.
Perempuan yang berpendirian teguh. Perempuan miskin yang tak bermental babu. Perempuan miskin yang lebih bangga menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Dengan tubuhnya yang krempeng, menjadi tukang rombeng tanpa majikan, tanpa ada yang memerintahnya. Bebas tanpa kungkungan sang tuan. Ia tak mau ternista dalam kemiskinan dengan menjadi jongos orang kaya. Ia merasa terhormat mandiri dalam kemiskinannya. tak mau ternista seperti perempuan-perempuan yang di-import menjadi babu dan ternistakan di negeri orang. Babu-babu import dengan upah rendah, dapat diperlakukan sesuka majikanya, disiksa, diperkosa hingga dibunuh bagai binatang yang hina bina. Ya, mak Ti seakan mementahkan setereotif tersebut dengan semboyann “hujan batu dinegeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas dinegeri orang”. Ia ingin mementahkan stereotif terhadap bangsa ini sebagai “bangsa yang semenjak dulu bermental kuli dan babu”. Semenjak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara yang berwatak feodalistik, zaman kolonial yang menempatkan pribumi sebagai binatang yang menempati kelas paling hina di antara bangsa-bangsa lain. Bangsa yang sarjana-sarjananya lebih mengejar mimpi sebagai pegawai abdi Pamong Praja yang hidup di balik ketiak pemerintah, dari pada menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. bangsa yang guru-gurunya lebih banyak berceramah dari pada berdiskusi dengan muridnya. Bangsa yang pemimpin-pemimpinya tanpa malu masuk keluar penjara. Memakan uang rakyat sekenyang perutnya.

The Warrior Princess yang tangguh dalam kemelut kemiskinan. Terlahir dari keluarga petani miskin empat puluh enam tahun silam. Dan masih miskin hingga sekarang. Perempuan polos, yang tak mengerti ejaan kata feminisme, tak mengerti kesetaraan gender, tak mengerti kalau Krisdayanti bercerai dengan Anang lantaran selingkuh dengan Raul Lemos, tak mengerti kenapa Ayu Azhari kawin cerai berulang kali, suatu trend kawin cerai artis yang katanya wujud kesetaraan gender. Namun dengan ketegaranya, kemandirianya, ketanguhanya, mak Ti dalam pandanganku merupakan wanita  yang memahami arti lebih dalam tentang feminisme. Memahami makna kesetaraan gender tanpa harus meninggalkan suami dan anak-anaknya, tanpa harus mengingkari takdirnya sebagai perempuan. Perempuan lembut dan penyayang yang tetap mempertahankan keluarganya yang tak bisa diandalkan. Baginya itu sudah menjadi pilihan hidupnya dengan resiko bekerja keras untuk tanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Pilihan pada suami dan anak-anak yang tak bisa diandalkan.  Perempuan yang patah hati, dikecewakan oleh keluarganya dan membalas kepatah hatinya dengan balutan kasih sayang pada keluarganya.

Aku masih hanyut dalam cerita-cerita mas Eko. Lelaki tukang nasi goreng keliling ini telah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hati-ku. Pertanyaan tentang anak-anaknya yang tidak sudi menjamah barang-barang rombeng, tentang mak Ti yang setiap pagi dan sore membiarkan tubuh krempengnya di goncang tong-tong bekas kaleng cat ukuran besar berisi air. Mengurusi pembayaran barang-barang rombeng. Merasakan keprihatinan terhadap anak-anak yang dilahirkanya. Tapi kenapa mak Ti tidak pernah bercerita tentang pak Muslich. Kalau dibilang takut, tidak mungkin. Karena mak Ti merupakan panglima pada keluarga miskin ini. Pak Muslich-pun dalam cerita mas Eko juga tidak sedikit-pun tergambar sosok lelaki yang jahat. Dia hanya malas bekerja. Dari hasil pengamatanku-pun pak Muslich tidak sedikitpun menunjukan sosok yang keras. Dia tergambar sebagai lelaki yang ramah, sesekali memang aku lihat dia tak pernah berbicara dengan nada memerintah, atau mengguruhi mak Ti. Ia terlihat mengikuti mak Ti walau awalnya aku sangka itu merupakan sikap ramah suami terhadap istri. Yang sekarang aku ketahui bahwa Pak Muslich tidak sehebat mak Ti dalam memimpin keluarga. Pak Muslich tetap dihargai mak Ti sebagai seorang suami walaupun ia tak mampu memimpin. Mungkin itulah yang membuat mak Ti tidak bercerita banyak tentang suaminya. Dan mungkin juga pak Muslich sudah berubah, sudah bukan lelaki pemalas seperti dua tahun silam. Walau sekarang harus belajar banyak pada mak Ti untuk sama-sama memimpin keluarga.     


*****************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar