Cerita ini diadopsi dari kuliah lapangan Sosiologi Kemiskinan. cerita seorang perempuan perkasa, yang bekerja sebagai tukang rombeng, mengarungi hidup dalam kemelut kemiskinan di perkotaan. Terangkum dalam bentuk laporan novel "Catatan Dari Sudut Perkampungan Kota Surabaya" Pada Chapter II.
By : Puu
Hari yang menyenangkan, duduk di jok recaro sport mengemudiakan Civic Mugen RR, mobil sport dengan warna merah darah mengkilat, roda bridgestone potenza dengan jari-jari hitamnya yang kelihatan hingga berates-ratus meter. Ku jalankan mobil dengan kecepatan rendah, memutar musik Linkin Park pada car audio sony mex-dv 900, menyusuri jalanan komplek perumahan Pondok Rosan.
[Crawling-nya Linkin Park]
crawling in my skin these wounds they will not heal
fear is how i fall
confusing what is rea
there's something inside me that pulls beneath the surface consuming/confusing
this lack of self-control i fear is never ending
controlling/i can't seem……
Teriakan-teriakan Si Chester Bennington sang vokalis Linkin Park itu menggaung keras dari dalam Honda Civic Mugen RR yang aku kendarai. Grup musik beraliran nu metal dan rock alternatif yang berasal dari negerinya Barack Obama ini, memang bisa memberikan semangat yang menggebu di hari yang mendung ini.
GUBRAAKKKKKKKKKKK……GLODAKKKKK………!!!!!!!!!
Tiba-tiba aku menabrak sebuah tong sampah yang ada di depanku, tong sampah warna biru yang ada di depan sebuah rumah di Perum Pondok Rosan, dan baru aku menyadari bahwa aku tidak sedang mengendarai Honda Civic Mugen RR warna merah darah. Tapi sedang mengendarai atau lebih tepatnya mendorong gerobak rombeng kayu yang berwarna cokelat. Dengan iringan lagu Crawling dari earphone yang mengelegar di telingaku sehingga membuatku berhayal dari mendorong gerobak serasa mengendarai mobil. Haduh konyol hari pertama yang konyol.
“lho mas kenapa? Gak bisa njalanin grobaknya ta? biar bapak saja yang jalankan kalau sampean kesulitan.” Kata mak Ti yang melihatku menabrak tong sampah.
“iyah sini, biar bapak saja” sahut pak Muslich seraya bergegas memgang setir gerobak yang aku pegang.
“tidak, tidak usah biar saya saja” kataku gugup dan tak tahu apa yang harus aku perbuat.
“walah mas, tidak biasa ya? atau sedang melamun” gurau mak Ti dengan senyum ramahnya. Ia mengetahui bahwa baru kali pertama ini aku mendorong gerobak, gerobak rombeng miliknya.
Dengan cepat Pak Muslich membereskan tong sampah warna biru yang berserakan dengan sampah-sampah yang aku tabrak. Untung saja si pemilik rumah tidak mengetahui kejadian tersebut lalu keluar dari rumah dan sehingga kami terhindar dari murka sang pemilik rumah, yang mungkin saja marah-marah pada kami dan untung saja tong sampah tersebut tidak rusak. Aku-pun dengan gugup meminta maaf pada Pak Muslich dan mak Ti.
“maaf.. maafkan saya pak-mak”
“wis, tidak apa-apa mas” jawab mereka serentak.
“sampean kalau capek bilang ya nanti, biar digantiin dorongnya sama bapak” kata mak Ti yang menghawatirkan aku.
Haduh malunya aku. Hari pertama mengikuti aktivitas kerja suami-istri ini aku sudah membuat kesalahan. Dan, untuk menebus kesalahanku, semenjak kejadian ini aku memberi nama kendaraan pengais rejeki milik suami istri tukang rombeng ini, dengan nama Civic Mugen RR. Sebuah nama yang kuberikan sebagai tanda perkenalan dengan gerobak kayu ini. Berlebihan memang sebuah gerobak rombeng aku samakan dengan mobil mewah. Namun kendaraan ini memilki arti yang khusus bagi mak Ti dan pak Muslich. Kendaraan yang sudah menemani mereka selama dua belas tahun, yang membantu menghidupi keluarga mereka, kendaraan primitive yang hanya terdiri dari susunan kayu dan dua roda ini. Dengan kendaraan ini mereka tidak perlu ambil pusing ketika harga BBM naik, mereka tidak perlu panik tercatat dalam daftar nama penanggung wajib pajak kendaraan bermotor, dan tidak perlu terlalu geram karena pajak banyak dikorupsi oleh pejabat. pengangkut barang-barang rombeng yang menghidupi mereka ini bermakna kendaraan mewah bagi mereka, sama halnya dengan mobil Civic Mugen RR yang begitu berharga bagi pemiliknya.
Hari ini adalah hari pertama aku mengikuti aktivitas kerja suami istri tukang rombeng ini. Tempat mencari rombeng hari ini adalah di Perumahan Pondok Rosan Babatan Surabaya. Perumahan ini memang tidak tergolong elit, kebanyakan perumahan yang dihuni oleh kalangan menengah. Perumahan ini merupakan lokasi mencari barang rombeng yang utama karena mereka sudah mengenal akrab dengan para penghuni perumahan ini. Kebanyakan adalah langganan mereka yang sudah bertahun-tahun menjual barang-barang bekas kepada tukang rombeng ini. Orang-orang di Pondok Rosan sudah akrab dengan Mak Ti dan Pak Muslich. Biasanya warga perumahan ini menumpuk Koran-koran dan barang-barang bekas lainya selama berhari-hari agar terkumpul banyak, kemudian akan dijual kepada pasangan tukang rombeng ini. Sehingga tukang rombeng ini tinggal menjadwalkan kapan harus mengambil Koran-koran bekas, kardus-kardus bekas dan botol-botol plastik bekas untuk dibeli dari penghuni perumahan itu.
“Rombeng…. Rombeng…. “ teriakan cempreng mak Ti yang menawarkan untuk membeli barang-barang bekas.
Mak Ti berjalan paling depan, membawa tas di tangan kurusnya, yang berisi timbangan lantai dan sak, berteriak mencari barang rombeng dari rumah ke rumah. Sedangkan pak Muslich berjalan disampingku. Aku yang baru pertama mengikuti aktivitas mereka sudah harus mendorong gerobak Civic Mugen RR mengitari perumahan-perumahan ini. Sungguh seumur hidup baru kali ini aku mendorong gerobak rombeng. Dirumahku sendiri aku sering melihat kuli-kuli yang bekerja pada keluargaku, mengangkut matreal yang baru turun dari truk untuk diusung kedalam toko dengan gerobak. Namun tak sekalipun aku menyentuh benda kayu yang merupakan kendaraan primitive manusia zaman kuno, yang masih eksis hingga sekarang itu. Dan sudah ku mantabkan dalam hati untuk mulai mempertebal muka dan menahan malu jika saja harus bertemu cewek cantik, teman, ataupun kenalan yang kebetulan berpapasan sewaktu aku mendorong gerobak rombeng. Dan untuk menambah kemantaban hati tersebut, segera ku buka akun facebook-ku melalui handphone untuk up date status sebagai berikut :
>Status FB : “Rom… beng… \^.^/”.
Status FB yang menunjukan kepada semua orang bahwa aktivitasku saat ini sedang menjadi tukang rombeng.
hoho
Mak Ti terus berteriak “rombeng” dengan nada cempreng disetiap rumah yang ia lewati. Hingga akhirnya sampai pada suatu rumah yang bercat kuning. Dari dalam rumah keluar seorang perempuan warga keturunan Tionghoa. Perempuan dengan wajah bulat, mata sipit, kulit kuning bersih bertubuh ceking. Perempuan sipit tersebut menghampiri mak Ti yang berdiri di depan pagar rumahnya. Ia tampak ramah pada tukang rombeng tersebut. Mereka tampak sudah lama kenal dan menjadi langganan barang rombeng.
“Nik,.. rombeng nik” kata mak Ti dengan panggilan khas untuk perempuan tionghoa “Nonik”.
“iya mak Ti, sudah tak tunggu dari kemaren sampean. Ini Koran dan kardus sudah menumpuk” kata perempuan tionghoa tersebut.
“Koran sekarang berapa sekilonya mak?”Tanya perempuan tersebut.
“seribu dua ratus nik”
“lima belas po’o?”perempuan itu menawar.
“ada banyak ta nik?”
“banyak lo mak”
“ya sudah lima belas” jawab mak Ti dengan senyum ramah menerima penawaran harga dari perempuan sipit tersebut.
Ya, hukum jual beli, tawar menawar dengan harga pembelian murah untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Pertama mak Ti mematok harga beli seribu dua ratus perkilo kemudian di tawar oleh Nonik tersebut dengan harga yang lebih mahal seribu lima ratus. Tentu keuntungan mak Ti bakal berkurang, namun baginya keuntungan lebih kecil lebih baik ia dapatkan dari pada kehilangan langanan. Karena menjaga hubungan dengan langanan di perumahan ini perlu untuk keberlangsungan pekerjaanya. Dan mak Ti pun tidak suka berdebat soal harga. Ya, seperti watak manusia Jawa pada umumnya yang mudah bernegosiasi harga dari pada tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Tentunya berbeda dengan perempuan sipit manusia Sinkeh tersebut yang tidak akan melepas barangnya dari pada mengalami kerugian.
“kalau kardusnya mak, berapa harganya? tapi ini kardusnya hanya bebererapa saja mak”Tanya perempuan sipit lagi.
“ya sedikit juga gak pa-pa nik, harganya delapan ratus sekilo”
Tanpa membalas jawaban mak Ti, Perempuan sipit tersebut kemudian mengambil Koran-koran bekas dan kardus-kardus yang ada di dalam rumahnya yang berarti ia setuju dengan harga yang dipatok mak Ti, dan mempersilahkan kami untuk masuk di teras rumahnya. Mak Ti sendiri mempersiapkan timbangan lantai untuk menimbang barang-barang tersebut. Perempuan sipit dengan tubuhnya yang ceking membopong seonggok barang-barang rombeng yang ada di dalam rumahnya. Berkali-kali keluar masuk rumahnya dengan barang-barang untuk dirombengkan kepada mak Ti. Barang-barang tersebut meliputi tumpukan Koran-koran dan kardus kardus.
Sudah ku duga Perempuan sipit ini adalah tipe manusia yang tidak mau rugi sedikitpun. Ia duduk di kursi rotan diterasnya dengan memegang kalkulator untuk menghitung jumlah harga dari barang-brang bekas tersebut. Ya ampun, barang-barang bekas tersebut ternyata dinilainya sebagai barang berharga, sampai-sampai ia harus memakai kalkulator untuk menghitung secara jeli dan cermat harganya. Sempat ia heran dengan kehadiranku, yang sebelunya tidak pernah ia lihat bersama suami istri tukang rombeng ini. sesosok pemuda yang memiliki perbedaan dari segi fisik dengan pasangan tukang rombeng yang ada dihadapanya. Ia kemudian menayakan tentang diriku kepada Pak Muslich dan mak Ti. Mereka berdua menjawab bahwa aku ini adalah keponakanya dari jauh yang sudah lama tidak bertemu, sedang berkunjung dan ingin membantu pekerjan mereka. Dan akupun hanya mengangguk dan melempar senyum. Untung si noni tersebut tidak menayakan boigrafiku lebih lanjut. Seumpama ia terus mendesak untuk mengetahui siapa aku, maka dengan segera aku berikan alamat akun Facebook-ku, biar bisa mengetahui lebih detail tentang biografi diriku dan ngobrol lebih lanjut. kwkwkw
Walaupun perempuan sipit ini perhitungan dalam masalah transaksi barang rombeng, namun ia terlihat ramah dan menghargai mak Ti. Sambil menghitung dari hasil timbangan mak Ti, Sesekali ia bercanda dengan mengeluarkan tawa yang membuat matanya hanya membentuk sebatas garis horizontal dalam wajahnya yang bulat bersih. Perempuan sipit itu memang sudah akrab dengan pasangan tukang rombeng ini. Mak Ti dan Pak Muslich pun juga tidak terlihat minder dengan orang kaya di depanya. Total koran yang ditimbang adalah lima belas kilo sedangkan kardus hanya lima kilo jadi total uang yang harus dikeluarkan mak Ti dari harga kesepakatan diawal adalah dua puluh enam ribu lima ratus.
Setelah transaksi selesai, pak Muslich segera mengangkat barang-barang bekas tersebut kemudian dimasukan kedalam gerobak rombeng Civic Mugen RR, kami berpamitan kepada perempuan sipit tersebut dan kembali memutari perumahan Pondok Rosan. Sesekali berhenti, mendapatkan Koran-koran, kardus-kardus kemudian berjalan lagi, dan berhenti lagi menghampiri orang yang menjual barang bekas kepada mereka. Begitu seterusnya hingga tumpukan Koran-koran, kardus-kardus dan barang bekas lainya memenuhi gerobak. Dan sekarang pak Muslich yang menyetir gerobak rombeng Civic Mugen RR, karena isinya sudah penuh dan terasa berat jika hanya aku yang mendorongnya. Akupun hanya membantu menata barang-barang rombeng tersebut.
Dengan gerobak yang sudah penuh, mak Ti masih mencari orang yang akan menjual barang rombeng kepadanya untuk tambahan. Seorang bapak-bapak yang sedang mencuci mobil yang melihat dan mendengar teriakan mak Ti menghentikan aktivitasnya. Ia melambaikan tangan memanggil kami. Segera kami menuju depan rumah bapak tersebut. Pria itu telanjang dada dan hanya memakai celana kolor warna merah tua, terlihat perutnya yang buncit dengan sebuah gambar tato garuda melekat di bahu kirinya. Pria itu nampak mengeluarkan dua lampu minyak bekas dan sebuah kursi plastik yang sudah rusak dari dalam rumahnya. Belum sempat mak Ti memberitahu harga barang rombeng tersebut per kilo, pria tersebut sudah berkata :
“ini mak bawa saja” kata pria itu dengan senyuman yang teriringi kumis yang melekat tipis pada bawah hidungnya.
Suatu berkah bagi pasangan tukang rombeng hari ini. Seorang pria bertato memberikan barang bekas secara cuma-cuma kepada mereka tanpa harus mengeluarkan uang untuk membelinya. Pria bertato yang tidak mengangap barang bekas tersebut sebagai barang berharga. Nampaknya pria tersebut memang sudah berkecukupan dengan uang yang dimilikinya, sehingga ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan barang-barang bekasnya untuk dijual kepada mak Ti untuk sekedar mendapatkan uang tambahan yang berkisar antara lima sampai sepuluh ribu. Atau mungkin ia adalah manusia yang murah hati terhadap manusia-manusia miskin seperti Pak Muslich dan mak Ti ini. Manusia-manusia yang dianggapnya wajib di tolong karena taraf ekonominya yang rendah, hidup susah dan harus mengkais rejeki melalui barang-barang rombeng dalam gerobak kayu yang mereka dorong setiap hari. Ya, siapa-pun pria buncit bertato ini, aku juga turut berterima kasih atas kemurahan hatinya.
Terlihat grobak nampak sudah penuh dengan barang-barang rombeng yang membuncang. Mak Ti mengajak kami untuk kembali kerumah. Dengan sekuat tenaga pak Muslich mendorong gerobak Civic Mugen RR. Ia terlihat sudah terbiasa dengan pekerjaanya tersebut. Mak Ti berjalan di belakangnya, sedangkan aku menahan lelah berjalan mengutit dibelakang mereka. Hah, inilah perjuangan hidup mereka yang setiap hari melakuakan pekerjaan ini, berkeliling dan mendorong gerobak demi uang yang berkisar antara dua sampai empat puluh ribu untuk menyambung hidup keluarganya. Mereka nampak terbiasa, tak nampak kelelahan pada tubuh kerempeng kedua manusia tukang rombeng tersebut, sedangkan aku sudah terasa kelu dan pegal di kaki. Haduh memalukan.
Sesampainya dirumah, kami membongkor barang-barang rombeng tersebut dari dalam gerobak. Salah satu anaknya yang sedang ada di rumah tidak terlihat mendekat dan membantu mereka. Anak laki-laki itu terlihat duduk termangu di kursi panjang yang berada disisi jalan paving. Aku memang belum mengenanal dia karena kedatanganku baru pagi ini dan langsung mengikuti aktivitas pekerjaan orang tuanya. Tetapi dalam hati aku sempat heran, mengapa anak laki-laki itu tidak menghampiri orang tuanya yang baru saja pulang kerja dan masih harus memilah pilah barang-barang bekas tersebut. Sebagai seorang anak tentunya dia akan tidak enak hati melihat orang tuanya lelah dengan pekerjaanya demi mencari sesuap nasi untuknya. tetapi dia hanya diam santai begitu saja. Ah, mungkin saja sudah ada pembagian pekerjaan tersendiri diantara anggota keluarga ini.
Mak Ti yang melihatku kelelahan, dengan segera ia pergi ke warung dan membelikanku sebungkus minuman dan makanan kecil. Aku menolaknya, karena merasa merepotkanya. Namun mak Ti memaksa dan mengatakan tidak tega melihatku kelelahan. Oh, perempuan kerempeng ini ternyata mempunyai rasa keibuan yang tinggi. Dia sangat memperhatikan aku padahal kelelahan yang aku rasakan tidak seberapa dibandingkan kelelahan mereka. Mungkin saja dia merasa tidak enak hati karena telah membiarkaku berpayah-payah mendorong gerobak. Akupun turut membantu mereka memilah-pilah dan mengkelompokan barang-barang bekas tersebut menurut jenis yang sama. Setelah barang terkelompok secara rapi menurut jenisnya yang sama. Pak muslich menaikanya kembali kedalam gerobak. Sengaja barang-barang tersebut dipilah-pilah dan di kelompokan untuk mempermudah memberikan harga ketika di setorkan kepada pengepul.
Pak Muslich dan mak Ti segera membawa barang-barang rombeng tersebut ke tempat pengepulan. Tempat pengepulan tidak begitu jauh dari rumahnya. Masih termasuk wilayah Dukuh Karangan yang berada di Jalan raya, berada tepat di depan Royal Recidance. Kali ini pak Muslich lebih santai mendorong gerobak Civic Mugen RR, karena tinggal menyetorkan barang-barang rombeng tersebut kepada pengepul dan mendapatkan uang. Seperti yang ku bayangkan, tempat pengepulan ini merupakan sebuah gudang yang penuh barang-barang rongsokan. Kertas-kertas Koran yang berjajar menumpuk sampai setinggi atapnya, kardus-kardus dan barang-barang elektronik bekas yang berdesak berjejalan di dalamnya. Kertas-kertas Koran yang bagiku hanya sebagai sampah atau bisa tidak aku anggap sampah ketika aku masih membutuhkan informasi dari huruf-huruf yang tercetak pada kertas-kertas tipis tersebut, entah untuk membuat tugas kliping atau ada suatu informasi yang aku tertarik membacanya. Begitu juga semua barang-barang yang berjejal di gudang ini, semua bagiku hanyalah sampah yang tak berharga. Barang-barang yang tak berguna dan ku buang begitu saja ketika tidak memiliki fungsi lagi. Namun disini aku melihat sampah-sampah ini adalah suatu barang yang berharga yang diperjual belikan dan dapat menghidupi keluarga pasangan suami istri tukang rombeng ini, keluarga bos pemilik gudang pengepulan ini maupun tukang-tukang rombeng lainya
“nah gitu mas, mahasiswa itu sebelum menjadi orang besar harus merasakan jadi orang kecil dulu, biar tidak lupa nati pas sudah duduk enak jadi orang besar”.
Bos pengepul tiba-tiba menyambut kehadiranku bersama pak Muslich dan mak Ti dengan kata-kata tersebut. Rupanya ia sudah tahu kalau aku adalah mahasiswa yang sedang tugas kuliah di rumah pasangan suami istri tukang rombeng tersebut. Kata-kata yang menurutku memiliki arti yang sangat dalam. Jika aku terjemahkan kata-kata Bos pengepul tersebut, rangkain kata-kata tersebut merupakan ungkapan isi hati seorang rakyat yang kecewa, terabaikan oleh pemimpin mereka. Seorang rakyat yang melihat banyak pemimpin di negeri ini yang lupa daratan. Banyaknya kasus korupsi dan pemimpin yang mentingkan dirinya sendiri menjadikan mereka kecewa dan jenuh dengan pemimpin-pemimpinya. Salah satu rakyat itu adalah Bos pengepul ini.
Bos pengepul yang duduk di balik timbangan nampak senang melihatku membantu Pak Muslich dan Mak Ti. Ia mencoba mengajakku berbincang. Ia bercerita banyak tentang awal mula menjadi bos pengepul. Dulunya dia juga merupakan tukang rombeng seperti pak Muslich dan Mak Ti. Dengan sepeda pancal, ia menyusuri jalanan kota surabaya dengan barang-barang rombeng. Susah payah ia berjuang untuk merubah nasib.
“semua itu berawal dari bawah mas, maka dari itu jangan lupa sama yang di bawah, jangan semena-mena sama yang di bawah”
Begitulah tutur lelaki itu, lelaki yang hanya mengenakan singlet warna putih dan bertopi hitam itu bercerita tentang perjalanan hidup. Tentang arti sebuah perjuangan hidup. Ia memang nampak ramah pada setiap orang yang ada di gudang pengepulan itu. Disini aku menyaksikan tidak hanya pak Muslich dan Mak Ti yang bergelar tukang rombeng. Banyak manusia-manusia lusuh yang menggantungkan hidupnya dari barang-barang rombeng tersebut, barang-barang yang ku anggap sampah. Seakan aku melihat koloni tukang rombeng yang sedang berkumpul dalam suatu kongres. Bos pengepul yang nampak seperti ketua koloni yang memimpin mereka dengan mahkota kebesaran yaitu timbangan yang memberikan keadilan untuk hidup mereka. Manusia-manusia yang memiliki keteguhan hati untuk tetap menjalani hidup dalam kekurangan.
Dari dalam tas hitam yang ada disampingnya, Bos Pengepul mengambil beberepa rupiah dan memberikan sejumlah uang sesuai dengan barang rombeng yang ditimbang pasangan suami istri tukang rombeng ini. Tampak lembaran uang sejumlah seratus tujuh puluh dua ribu. Mereka tampak riang, hari ini dengan modal seratus lima puluh ribu rupiah mereka mendapatkan keuntungan dua puluh dua ribu rupiah. Dari tempat pengepulan berarti uang saku sekolah untuk anaknya esok sudah ada hari ini. Untuk membeli lauk pauk juga sudah ada hari ini. Kami segera berpamitan dengan Bos Pengepul.
Aku berbalik memandangi gerobak rombeng yang ada dibelakangku. Aku tersenyum dan semakin mengerti arti dari sebuah kendaraan pengankut tradisional itu. Pak Muslich tampak mengapai kemudinya, namun kemudian aku raih kemudi si-grobak Civic Mugen RR dari tangan pak Muslich. Dengan riang aku dorong gerobak itu untuk pulang kerumah. Terasa menyenangkan berakrab dengan gerobak kayu ini. Dan hari ini gerobak ini aku anugerahi sebuah nama yang keren “Civic Mugen RR” sebagai penghargaanku untuk jasa-jasanya. Nama persis seperti mobil mewah produksi Honda. Semoga saja perusahaan orang Jepang itu tidak protes atas tindaku ini. Kendaraan pengais rejeki yang menghidupi manusia-manusia krempeng ini selama dua belas tahun. Membantu memberi penghidupan dan menyambung nyawa anak-anaknya.
****************
By : Puu
Hari yang menyenangkan, duduk di jok recaro sport mengemudiakan Civic Mugen RR, mobil sport dengan warna merah darah mengkilat, roda bridgestone potenza dengan jari-jari hitamnya yang kelihatan hingga berates-ratus meter. Ku jalankan mobil dengan kecepatan rendah, memutar musik Linkin Park pada car audio sony mex-dv 900, menyusuri jalanan komplek perumahan Pondok Rosan.
[Crawling-nya Linkin Park]
crawling in my skin these wounds they will not heal
fear is how i fall
confusing what is rea
there's something inside me that pulls beneath the surface consuming/confusing
this lack of self-control i fear is never ending
controlling/i can't seem……
Teriakan-teriakan Si Chester Bennington sang vokalis Linkin Park itu menggaung keras dari dalam Honda Civic Mugen RR yang aku kendarai. Grup musik beraliran nu metal dan rock alternatif yang berasal dari negerinya Barack Obama ini, memang bisa memberikan semangat yang menggebu di hari yang mendung ini.
GUBRAAKKKKKKKKKKK……GLODAKKKKK………!!!!!!!!!
Tiba-tiba aku menabrak sebuah tong sampah yang ada di depanku, tong sampah warna biru yang ada di depan sebuah rumah di Perum Pondok Rosan, dan baru aku menyadari bahwa aku tidak sedang mengendarai Honda Civic Mugen RR warna merah darah. Tapi sedang mengendarai atau lebih tepatnya mendorong gerobak rombeng kayu yang berwarna cokelat. Dengan iringan lagu Crawling dari earphone yang mengelegar di telingaku sehingga membuatku berhayal dari mendorong gerobak serasa mengendarai mobil. Haduh konyol hari pertama yang konyol.
“lho mas kenapa? Gak bisa njalanin grobaknya ta? biar bapak saja yang jalankan kalau sampean kesulitan.” Kata mak Ti yang melihatku menabrak tong sampah.
“iyah sini, biar bapak saja” sahut pak Muslich seraya bergegas memgang setir gerobak yang aku pegang.
“tidak, tidak usah biar saya saja” kataku gugup dan tak tahu apa yang harus aku perbuat.
“walah mas, tidak biasa ya? atau sedang melamun” gurau mak Ti dengan senyum ramahnya. Ia mengetahui bahwa baru kali pertama ini aku mendorong gerobak, gerobak rombeng miliknya.
Dengan cepat Pak Muslich membereskan tong sampah warna biru yang berserakan dengan sampah-sampah yang aku tabrak. Untung saja si pemilik rumah tidak mengetahui kejadian tersebut lalu keluar dari rumah dan sehingga kami terhindar dari murka sang pemilik rumah, yang mungkin saja marah-marah pada kami dan untung saja tong sampah tersebut tidak rusak. Aku-pun dengan gugup meminta maaf pada Pak Muslich dan mak Ti.
“maaf.. maafkan saya pak-mak”
“wis, tidak apa-apa mas” jawab mereka serentak.
“sampean kalau capek bilang ya nanti, biar digantiin dorongnya sama bapak” kata mak Ti yang menghawatirkan aku.
Haduh malunya aku. Hari pertama mengikuti aktivitas kerja suami-istri ini aku sudah membuat kesalahan. Dan, untuk menebus kesalahanku, semenjak kejadian ini aku memberi nama kendaraan pengais rejeki milik suami istri tukang rombeng ini, dengan nama Civic Mugen RR. Sebuah nama yang kuberikan sebagai tanda perkenalan dengan gerobak kayu ini. Berlebihan memang sebuah gerobak rombeng aku samakan dengan mobil mewah. Namun kendaraan ini memilki arti yang khusus bagi mak Ti dan pak Muslich. Kendaraan yang sudah menemani mereka selama dua belas tahun, yang membantu menghidupi keluarga mereka, kendaraan primitive yang hanya terdiri dari susunan kayu dan dua roda ini. Dengan kendaraan ini mereka tidak perlu ambil pusing ketika harga BBM naik, mereka tidak perlu panik tercatat dalam daftar nama penanggung wajib pajak kendaraan bermotor, dan tidak perlu terlalu geram karena pajak banyak dikorupsi oleh pejabat. pengangkut barang-barang rombeng yang menghidupi mereka ini bermakna kendaraan mewah bagi mereka, sama halnya dengan mobil Civic Mugen RR yang begitu berharga bagi pemiliknya.
Hari ini adalah hari pertama aku mengikuti aktivitas kerja suami istri tukang rombeng ini. Tempat mencari rombeng hari ini adalah di Perumahan Pondok Rosan Babatan Surabaya. Perumahan ini memang tidak tergolong elit, kebanyakan perumahan yang dihuni oleh kalangan menengah. Perumahan ini merupakan lokasi mencari barang rombeng yang utama karena mereka sudah mengenal akrab dengan para penghuni perumahan ini. Kebanyakan adalah langganan mereka yang sudah bertahun-tahun menjual barang-barang bekas kepada tukang rombeng ini. Orang-orang di Pondok Rosan sudah akrab dengan Mak Ti dan Pak Muslich. Biasanya warga perumahan ini menumpuk Koran-koran dan barang-barang bekas lainya selama berhari-hari agar terkumpul banyak, kemudian akan dijual kepada pasangan tukang rombeng ini. Sehingga tukang rombeng ini tinggal menjadwalkan kapan harus mengambil Koran-koran bekas, kardus-kardus bekas dan botol-botol plastik bekas untuk dibeli dari penghuni perumahan itu.
“Rombeng…. Rombeng…. “ teriakan cempreng mak Ti yang menawarkan untuk membeli barang-barang bekas.
Mak Ti berjalan paling depan, membawa tas di tangan kurusnya, yang berisi timbangan lantai dan sak, berteriak mencari barang rombeng dari rumah ke rumah. Sedangkan pak Muslich berjalan disampingku. Aku yang baru pertama mengikuti aktivitas mereka sudah harus mendorong gerobak Civic Mugen RR mengitari perumahan-perumahan ini. Sungguh seumur hidup baru kali ini aku mendorong gerobak rombeng. Dirumahku sendiri aku sering melihat kuli-kuli yang bekerja pada keluargaku, mengangkut matreal yang baru turun dari truk untuk diusung kedalam toko dengan gerobak. Namun tak sekalipun aku menyentuh benda kayu yang merupakan kendaraan primitive manusia zaman kuno, yang masih eksis hingga sekarang itu. Dan sudah ku mantabkan dalam hati untuk mulai mempertebal muka dan menahan malu jika saja harus bertemu cewek cantik, teman, ataupun kenalan yang kebetulan berpapasan sewaktu aku mendorong gerobak rombeng. Dan untuk menambah kemantaban hati tersebut, segera ku buka akun facebook-ku melalui handphone untuk up date status sebagai berikut :
>Status FB : “Rom… beng… \^.^/”.
Status FB yang menunjukan kepada semua orang bahwa aktivitasku saat ini sedang menjadi tukang rombeng.
hoho
Mak Ti terus berteriak “rombeng” dengan nada cempreng disetiap rumah yang ia lewati. Hingga akhirnya sampai pada suatu rumah yang bercat kuning. Dari dalam rumah keluar seorang perempuan warga keturunan Tionghoa. Perempuan dengan wajah bulat, mata sipit, kulit kuning bersih bertubuh ceking. Perempuan sipit tersebut menghampiri mak Ti yang berdiri di depan pagar rumahnya. Ia tampak ramah pada tukang rombeng tersebut. Mereka tampak sudah lama kenal dan menjadi langganan barang rombeng.
“Nik,.. rombeng nik” kata mak Ti dengan panggilan khas untuk perempuan tionghoa “Nonik”.
“iya mak Ti, sudah tak tunggu dari kemaren sampean. Ini Koran dan kardus sudah menumpuk” kata perempuan tionghoa tersebut.
“Koran sekarang berapa sekilonya mak?”Tanya perempuan tersebut.
“seribu dua ratus nik”
“lima belas po’o?”perempuan itu menawar.
“ada banyak ta nik?”
“banyak lo mak”
“ya sudah lima belas” jawab mak Ti dengan senyum ramah menerima penawaran harga dari perempuan sipit tersebut.
Ya, hukum jual beli, tawar menawar dengan harga pembelian murah untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Pertama mak Ti mematok harga beli seribu dua ratus perkilo kemudian di tawar oleh Nonik tersebut dengan harga yang lebih mahal seribu lima ratus. Tentu keuntungan mak Ti bakal berkurang, namun baginya keuntungan lebih kecil lebih baik ia dapatkan dari pada kehilangan langanan. Karena menjaga hubungan dengan langanan di perumahan ini perlu untuk keberlangsungan pekerjaanya. Dan mak Ti pun tidak suka berdebat soal harga. Ya, seperti watak manusia Jawa pada umumnya yang mudah bernegosiasi harga dari pada tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Tentunya berbeda dengan perempuan sipit manusia Sinkeh tersebut yang tidak akan melepas barangnya dari pada mengalami kerugian.
“kalau kardusnya mak, berapa harganya? tapi ini kardusnya hanya bebererapa saja mak”Tanya perempuan sipit lagi.
“ya sedikit juga gak pa-pa nik, harganya delapan ratus sekilo”
Tanpa membalas jawaban mak Ti, Perempuan sipit tersebut kemudian mengambil Koran-koran bekas dan kardus-kardus yang ada di dalam rumahnya yang berarti ia setuju dengan harga yang dipatok mak Ti, dan mempersilahkan kami untuk masuk di teras rumahnya. Mak Ti sendiri mempersiapkan timbangan lantai untuk menimbang barang-barang tersebut. Perempuan sipit dengan tubuhnya yang ceking membopong seonggok barang-barang rombeng yang ada di dalam rumahnya. Berkali-kali keluar masuk rumahnya dengan barang-barang untuk dirombengkan kepada mak Ti. Barang-barang tersebut meliputi tumpukan Koran-koran dan kardus kardus.
Sudah ku duga Perempuan sipit ini adalah tipe manusia yang tidak mau rugi sedikitpun. Ia duduk di kursi rotan diterasnya dengan memegang kalkulator untuk menghitung jumlah harga dari barang-brang bekas tersebut. Ya ampun, barang-barang bekas tersebut ternyata dinilainya sebagai barang berharga, sampai-sampai ia harus memakai kalkulator untuk menghitung secara jeli dan cermat harganya. Sempat ia heran dengan kehadiranku, yang sebelunya tidak pernah ia lihat bersama suami istri tukang rombeng ini. sesosok pemuda yang memiliki perbedaan dari segi fisik dengan pasangan tukang rombeng yang ada dihadapanya. Ia kemudian menayakan tentang diriku kepada Pak Muslich dan mak Ti. Mereka berdua menjawab bahwa aku ini adalah keponakanya dari jauh yang sudah lama tidak bertemu, sedang berkunjung dan ingin membantu pekerjan mereka. Dan akupun hanya mengangguk dan melempar senyum. Untung si noni tersebut tidak menayakan boigrafiku lebih lanjut. Seumpama ia terus mendesak untuk mengetahui siapa aku, maka dengan segera aku berikan alamat akun Facebook-ku, biar bisa mengetahui lebih detail tentang biografi diriku dan ngobrol lebih lanjut. kwkwkw
Walaupun perempuan sipit ini perhitungan dalam masalah transaksi barang rombeng, namun ia terlihat ramah dan menghargai mak Ti. Sambil menghitung dari hasil timbangan mak Ti, Sesekali ia bercanda dengan mengeluarkan tawa yang membuat matanya hanya membentuk sebatas garis horizontal dalam wajahnya yang bulat bersih. Perempuan sipit itu memang sudah akrab dengan pasangan tukang rombeng ini. Mak Ti dan Pak Muslich pun juga tidak terlihat minder dengan orang kaya di depanya. Total koran yang ditimbang adalah lima belas kilo sedangkan kardus hanya lima kilo jadi total uang yang harus dikeluarkan mak Ti dari harga kesepakatan diawal adalah dua puluh enam ribu lima ratus.
Setelah transaksi selesai, pak Muslich segera mengangkat barang-barang bekas tersebut kemudian dimasukan kedalam gerobak rombeng Civic Mugen RR, kami berpamitan kepada perempuan sipit tersebut dan kembali memutari perumahan Pondok Rosan. Sesekali berhenti, mendapatkan Koran-koran, kardus-kardus kemudian berjalan lagi, dan berhenti lagi menghampiri orang yang menjual barang bekas kepada mereka. Begitu seterusnya hingga tumpukan Koran-koran, kardus-kardus dan barang bekas lainya memenuhi gerobak. Dan sekarang pak Muslich yang menyetir gerobak rombeng Civic Mugen RR, karena isinya sudah penuh dan terasa berat jika hanya aku yang mendorongnya. Akupun hanya membantu menata barang-barang rombeng tersebut.
Dengan gerobak yang sudah penuh, mak Ti masih mencari orang yang akan menjual barang rombeng kepadanya untuk tambahan. Seorang bapak-bapak yang sedang mencuci mobil yang melihat dan mendengar teriakan mak Ti menghentikan aktivitasnya. Ia melambaikan tangan memanggil kami. Segera kami menuju depan rumah bapak tersebut. Pria itu telanjang dada dan hanya memakai celana kolor warna merah tua, terlihat perutnya yang buncit dengan sebuah gambar tato garuda melekat di bahu kirinya. Pria itu nampak mengeluarkan dua lampu minyak bekas dan sebuah kursi plastik yang sudah rusak dari dalam rumahnya. Belum sempat mak Ti memberitahu harga barang rombeng tersebut per kilo, pria tersebut sudah berkata :
“ini mak bawa saja” kata pria itu dengan senyuman yang teriringi kumis yang melekat tipis pada bawah hidungnya.
Suatu berkah bagi pasangan tukang rombeng hari ini. Seorang pria bertato memberikan barang bekas secara cuma-cuma kepada mereka tanpa harus mengeluarkan uang untuk membelinya. Pria bertato yang tidak mengangap barang bekas tersebut sebagai barang berharga. Nampaknya pria tersebut memang sudah berkecukupan dengan uang yang dimilikinya, sehingga ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan barang-barang bekasnya untuk dijual kepada mak Ti untuk sekedar mendapatkan uang tambahan yang berkisar antara lima sampai sepuluh ribu. Atau mungkin ia adalah manusia yang murah hati terhadap manusia-manusia miskin seperti Pak Muslich dan mak Ti ini. Manusia-manusia yang dianggapnya wajib di tolong karena taraf ekonominya yang rendah, hidup susah dan harus mengkais rejeki melalui barang-barang rombeng dalam gerobak kayu yang mereka dorong setiap hari. Ya, siapa-pun pria buncit bertato ini, aku juga turut berterima kasih atas kemurahan hatinya.
Terlihat grobak nampak sudah penuh dengan barang-barang rombeng yang membuncang. Mak Ti mengajak kami untuk kembali kerumah. Dengan sekuat tenaga pak Muslich mendorong gerobak Civic Mugen RR. Ia terlihat sudah terbiasa dengan pekerjaanya tersebut. Mak Ti berjalan di belakangnya, sedangkan aku menahan lelah berjalan mengutit dibelakang mereka. Hah, inilah perjuangan hidup mereka yang setiap hari melakuakan pekerjaan ini, berkeliling dan mendorong gerobak demi uang yang berkisar antara dua sampai empat puluh ribu untuk menyambung hidup keluarganya. Mereka nampak terbiasa, tak nampak kelelahan pada tubuh kerempeng kedua manusia tukang rombeng tersebut, sedangkan aku sudah terasa kelu dan pegal di kaki. Haduh memalukan.
Sesampainya dirumah, kami membongkor barang-barang rombeng tersebut dari dalam gerobak. Salah satu anaknya yang sedang ada di rumah tidak terlihat mendekat dan membantu mereka. Anak laki-laki itu terlihat duduk termangu di kursi panjang yang berada disisi jalan paving. Aku memang belum mengenanal dia karena kedatanganku baru pagi ini dan langsung mengikuti aktivitas pekerjaan orang tuanya. Tetapi dalam hati aku sempat heran, mengapa anak laki-laki itu tidak menghampiri orang tuanya yang baru saja pulang kerja dan masih harus memilah pilah barang-barang bekas tersebut. Sebagai seorang anak tentunya dia akan tidak enak hati melihat orang tuanya lelah dengan pekerjaanya demi mencari sesuap nasi untuknya. tetapi dia hanya diam santai begitu saja. Ah, mungkin saja sudah ada pembagian pekerjaan tersendiri diantara anggota keluarga ini.
Mak Ti yang melihatku kelelahan, dengan segera ia pergi ke warung dan membelikanku sebungkus minuman dan makanan kecil. Aku menolaknya, karena merasa merepotkanya. Namun mak Ti memaksa dan mengatakan tidak tega melihatku kelelahan. Oh, perempuan kerempeng ini ternyata mempunyai rasa keibuan yang tinggi. Dia sangat memperhatikan aku padahal kelelahan yang aku rasakan tidak seberapa dibandingkan kelelahan mereka. Mungkin saja dia merasa tidak enak hati karena telah membiarkaku berpayah-payah mendorong gerobak. Akupun turut membantu mereka memilah-pilah dan mengkelompokan barang-barang bekas tersebut menurut jenis yang sama. Setelah barang terkelompok secara rapi menurut jenisnya yang sama. Pak muslich menaikanya kembali kedalam gerobak. Sengaja barang-barang tersebut dipilah-pilah dan di kelompokan untuk mempermudah memberikan harga ketika di setorkan kepada pengepul.
Pak Muslich dan mak Ti segera membawa barang-barang rombeng tersebut ke tempat pengepulan. Tempat pengepulan tidak begitu jauh dari rumahnya. Masih termasuk wilayah Dukuh Karangan yang berada di Jalan raya, berada tepat di depan Royal Recidance. Kali ini pak Muslich lebih santai mendorong gerobak Civic Mugen RR, karena tinggal menyetorkan barang-barang rombeng tersebut kepada pengepul dan mendapatkan uang. Seperti yang ku bayangkan, tempat pengepulan ini merupakan sebuah gudang yang penuh barang-barang rongsokan. Kertas-kertas Koran yang berjajar menumpuk sampai setinggi atapnya, kardus-kardus dan barang-barang elektronik bekas yang berdesak berjejalan di dalamnya. Kertas-kertas Koran yang bagiku hanya sebagai sampah atau bisa tidak aku anggap sampah ketika aku masih membutuhkan informasi dari huruf-huruf yang tercetak pada kertas-kertas tipis tersebut, entah untuk membuat tugas kliping atau ada suatu informasi yang aku tertarik membacanya. Begitu juga semua barang-barang yang berjejal di gudang ini, semua bagiku hanyalah sampah yang tak berharga. Barang-barang yang tak berguna dan ku buang begitu saja ketika tidak memiliki fungsi lagi. Namun disini aku melihat sampah-sampah ini adalah suatu barang yang berharga yang diperjual belikan dan dapat menghidupi keluarga pasangan suami istri tukang rombeng ini, keluarga bos pemilik gudang pengepulan ini maupun tukang-tukang rombeng lainya
“nah gitu mas, mahasiswa itu sebelum menjadi orang besar harus merasakan jadi orang kecil dulu, biar tidak lupa nati pas sudah duduk enak jadi orang besar”.
Bos pengepul tiba-tiba menyambut kehadiranku bersama pak Muslich dan mak Ti dengan kata-kata tersebut. Rupanya ia sudah tahu kalau aku adalah mahasiswa yang sedang tugas kuliah di rumah pasangan suami istri tukang rombeng tersebut. Kata-kata yang menurutku memiliki arti yang sangat dalam. Jika aku terjemahkan kata-kata Bos pengepul tersebut, rangkain kata-kata tersebut merupakan ungkapan isi hati seorang rakyat yang kecewa, terabaikan oleh pemimpin mereka. Seorang rakyat yang melihat banyak pemimpin di negeri ini yang lupa daratan. Banyaknya kasus korupsi dan pemimpin yang mentingkan dirinya sendiri menjadikan mereka kecewa dan jenuh dengan pemimpin-pemimpinya. Salah satu rakyat itu adalah Bos pengepul ini.
Bos pengepul yang duduk di balik timbangan nampak senang melihatku membantu Pak Muslich dan Mak Ti. Ia mencoba mengajakku berbincang. Ia bercerita banyak tentang awal mula menjadi bos pengepul. Dulunya dia juga merupakan tukang rombeng seperti pak Muslich dan Mak Ti. Dengan sepeda pancal, ia menyusuri jalanan kota surabaya dengan barang-barang rombeng. Susah payah ia berjuang untuk merubah nasib.
“semua itu berawal dari bawah mas, maka dari itu jangan lupa sama yang di bawah, jangan semena-mena sama yang di bawah”
Begitulah tutur lelaki itu, lelaki yang hanya mengenakan singlet warna putih dan bertopi hitam itu bercerita tentang perjalanan hidup. Tentang arti sebuah perjuangan hidup. Ia memang nampak ramah pada setiap orang yang ada di gudang pengepulan itu. Disini aku menyaksikan tidak hanya pak Muslich dan Mak Ti yang bergelar tukang rombeng. Banyak manusia-manusia lusuh yang menggantungkan hidupnya dari barang-barang rombeng tersebut, barang-barang yang ku anggap sampah. Seakan aku melihat koloni tukang rombeng yang sedang berkumpul dalam suatu kongres. Bos pengepul yang nampak seperti ketua koloni yang memimpin mereka dengan mahkota kebesaran yaitu timbangan yang memberikan keadilan untuk hidup mereka. Manusia-manusia yang memiliki keteguhan hati untuk tetap menjalani hidup dalam kekurangan.
Dari dalam tas hitam yang ada disampingnya, Bos Pengepul mengambil beberepa rupiah dan memberikan sejumlah uang sesuai dengan barang rombeng yang ditimbang pasangan suami istri tukang rombeng ini. Tampak lembaran uang sejumlah seratus tujuh puluh dua ribu. Mereka tampak riang, hari ini dengan modal seratus lima puluh ribu rupiah mereka mendapatkan keuntungan dua puluh dua ribu rupiah. Dari tempat pengepulan berarti uang saku sekolah untuk anaknya esok sudah ada hari ini. Untuk membeli lauk pauk juga sudah ada hari ini. Kami segera berpamitan dengan Bos Pengepul.
Aku berbalik memandangi gerobak rombeng yang ada dibelakangku. Aku tersenyum dan semakin mengerti arti dari sebuah kendaraan pengankut tradisional itu. Pak Muslich tampak mengapai kemudinya, namun kemudian aku raih kemudi si-grobak Civic Mugen RR dari tangan pak Muslich. Dengan riang aku dorong gerobak itu untuk pulang kerumah. Terasa menyenangkan berakrab dengan gerobak kayu ini. Dan hari ini gerobak ini aku anugerahi sebuah nama yang keren “Civic Mugen RR” sebagai penghargaanku untuk jasa-jasanya. Nama persis seperti mobil mewah produksi Honda. Semoga saja perusahaan orang Jepang itu tidak protes atas tindaku ini. Kendaraan pengais rejeki yang menghidupi manusia-manusia krempeng ini selama dua belas tahun. Membantu memberi penghidupan dan menyambung nyawa anak-anaknya.
****************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar