Surabaya, menjelang Pileg, Maret 2009
Tepat selepas mahrib Ku tancap gas motorku dengan terburu-buru menyusuri aspal pekat jalanan. Motor keluaran tahun 2005 buatan Jepang ini masih tak kalah lincah dengan motor-motor Jepang keluaran terbaru yang membanjiri jalanan kota Surabaya ini. Hemm,.. tak satupun kuda besi maupun kotak-kotak beroda empat yang berkeliaran di jalanan itu terukir nama orang Indonesia pada sudut mesinya. semuanya terukir nama-nama asing seperti Suzuki, Honda, Daihatsu, Mitzubisi dsb, tak ada nama Suprapto, Sujono, Sukarno. Negara ini memang tenar sebagai Negara konsumen untuk barang-barang berlabel import. Motorku terus melaju kencang bukan lantaran pengen berlagak seperti Valentino Rosi, namun lantaran melaksanakan tugas sebagai surveyor harian kompas . Yah kerja sampingan yang lumayan berat namun akan menjadi ringan jika membanyangkan amplop honorernya.hehe,.. aku sedang terburu-buru menemui ketua RT yang siang tadi sulit kutemui. Menemui ketua RT di daerah Krembangan Surabaya utara untuk diwawancarai seputar pileg 2009.
Sepanjang jalanan ku lihat spanduk, poster, baner yang sedang marak menghiasi pemandangan kota Surabaya. Baner berbagai ukuran itu semua bergambar orang-orang yang tersenyum manis (entah senyuman palsu atau ilhas), ada yang berpeci, ada yang berkerudung, ada yang berkonde, ada yang bertopi ada pula yang memakai topi petani padahal sedikitpun kaki mereka tidak pernah menginjak sawah. Masing-masing tulisan berisi janji-janji untuk memikat hati rakyat dan pencitraan diri seakan-akan pembela rakyat. Audisi Parlemen Idol sudah dimulai, kampanye pemilihan umum legeslatif 2009. Banyak kontestan yang mengikuti audisi dengan background partai-partai yang berbeda-beda. Zaman demokrasi langsung rakyat dibingungkan oleh banyak calon dan partai. Dari partai gambar banteng nyruduk sampai burung emprit semua ada. Entah apa tujuan mereka tapi semua mengatasnamakan demokrasi. Biasanya musim menjelang pemilu beginilah yang menjadikan rakyat sebagai tuan raja, dalam beberapa waktu rakyat benar-benar dianggap rakyat lantaran suara mereka yang menentukan nasib orang-orang yang berpose pada baner-baner kampanye. Rakyat begitu dimanjakan sekaligus diperdaya. Banyak sekali cara untuk memanjakn dan memperdayakan rakyat, bagi-bagi uang pada saat kampanye, pembagian sembako, tebar pesona pada forum keagamaan sampai dengan bakti sosial. Rakyat diuntungkan untuk beberapa saat. namun disisi lain rakyat terbujuk dan tertipu. Namun bagi mereka siapa peduli yang penting mereka dapat keuntungan, terutama pada rakyat yang tergolong miskin.tindakan mereka benar adanya secara rasional instrumental walupun mereka tertipu.
Tepat di pasar kembang, tiba-tiba hujan menyergapku hingga akhirnya memaksaku untuk menepi pada sebuah pertokoan. “ah hujan ini beraninya kroyokan, coba saja klo berani duel satu persatu” gerutuku dalam hati. Hehe. Aku berteduh didepan sebuah pertokoan di pasar kembang. menghisap sebatang rokok untuk menghilangkan keresahan jika saja tidak bertemu pak RT. Kuperhatikan pasar kembang sembari mendengarkan berbincangan orang-orang yang berteduh disekitarku yang sesekali dibumbuhi kata-kata khas suroboyoan “cak-cok”. Hehe. Yah kata-kata itu mungkin yang akan sering rakyat ucapkan jika mengetahui wakil-wakil rakyat yang mereka pilih ternyata tidak bisa berbuat banyak untuk mereka. Setelah hujan reda aku kembali melanjutkan perjalananku. Sampai sudah aku di dirumah pak RT tersebut, aku lega mengetahui pak RT duduk manis di sofa rumahnya. Awalnya pak RT susah untuk diajak kerjasama. Nampak raut wajah yang agak curiga terhadap orang media massa, mungkin ini akibat media masa zaman sekarang yang terlampau kelewat batas memasuki wilayah privasi seseorang, seperti acara reality show yang akhir-akhir ini sering ditayangkan di televisi. Setelah mulutku berbusa-busa menjelaskan, kutunjukankan surat tugasku dan kusodorkan sebuah kaos souvenir Kompas akhirnya beliau luluh dan bersedia untuk diwawancarai.
Akhirnya responden yang paling sulit ku temui diantara responden lainya sudah ku wawancarai. Aku kembali menyusuri aspalan pekat yang diselimuti sisa-sisa air hujan. Ku susuri jalanan kota diantara kerlip lampu-lampu malam kota Pahlawan. Gedung-gedung bertingkat khas kota besar yang berdiri jumawa yang tak mengizinkan pedagang kaki lima untuk nebeng mengais rupiah pada secuil tempat disekelilingnya. Jalan-jalan megah, trotoar, taman-taman kota seakan hanya diperuntukan untuk orang kaya saja. Jika ada pegadang kaki lima yang berani bertokol maka mereka akan dihadapkan pada tongkat-tongkat kayu satpol PP yang siap mengobrak-abrik dagangan mereka atau jika PKL membrontak maka siap-siap saja menerima kerasnya tongkat kayu ini menerpa kulit-kulit kusam yang membalut tulang mereka. Sektor informal yang selama ini menjadi sumber penghasilan orang-orang miskin tidak akan pernah mendapat tempat di kota besar. Padahal jumlah waga miskin lebih banyak dari pada orang kaya. Lalu apa makna janji-janji yang dipasang di baner yang berjajar disepanjang jalanan setiap menjelang pemilu?. Rakyat yang mana yang mereka perjuangkan?. Toh kalo ada relokasipun tak pernah bisa menyelesaikan masalah. Yang ada hanyalah pengusiran secara halus sektor informal tersebut dengan relokasi. Tak terasa perjalananku sampai diperempatan Wonokromo. Trafic light berwarna merah yang berarti harus berhenti. Pada sebuah sisi jalan ku lihat seorang pengemis buta menengadahkan tangannya tepat didepan disebuah papan yang kira-kira bertuliskan “pemberian anda kepada pengamen dan pengemis hanya akan menyesatkan mereka”. Peringatan agar pengguna jalan dilarang memberikan uang kepada para pengemis, pengamen dan anak jalanan yang sering mangkal di lampu merah. Kira-kira begitu jika diterjemahkan. Oke mungkin maksudnya adalah agar pemberian kita kepada orang-orang jalanan itu hanya akan membuat mereka bermental pengemis, peminta-minta, tanpa mau bekerja keras dan malas. Tetapi salahkah mereka jika memang itu yang harus dilakukan untuk bertahan hidup? Aku yakin orang-orang jalanan itu juga tidak mau hidup miskin. Mereka melakukan itu lantaran tidak memiliki modal untuk mencari nafkah. Yang bisa mereka lakukan hanya itu. Mau ngelamar kerja tidak memiliki ijazah lantaran sekolah tak terjangkau oleh mereka, mau mendirikan usaha tidak memiliki modal. Seperti pak tua buta yang mengemis itu. Mereka akan dikejar-kejar, ditangkap bahkan dipukuli oleh Rantib jika ada operasi. Salah siapa orang-orang miskin ini memenuhi kota? Lha wong kota itu tempatnya uang, pusatnya modal numpuk di kota. Orang-orang miskin ini hanya dianggap sampah yang mengotori Kota. Lalu mana janji-janji wakil-wakil rakyat atau parpol-parpol yang semuanya mengklaim sebagai “wong cilik”. Mereka semua lantang berteriak “memperjuangkan rakyat”. rakyat yang mana pak de???.
Lampu berpindah hijau, ku masukan gigi plesneling dan melanjutkan perjalanan pulang untuk persiapan wawancara untuk responden lainya seusai kuliah besok. Semoga pemilu legeslatif bisa membawa kepada kemakmuran rakyat. Amieen,..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar