Kamis, 12 Januari 2012

ALUR CERITA PANTAI PRIGI

(CERPENKU YANG DIMUAT DI JAWA POS, SENIN 18 FEBRUARI 2008)

BY : PUU

Selintas pandang pantai prigi, ukir kembali rindu yang pernah singgah. Meski lamunan sejenak, tak kan pernah habiskan semua. Asmara pantai prigi bagiku tak akan pernah hilang memori. Ombak yang membasahi pantai selalu membawa rindu dengan kecupan lembut pasirnya. Belai mesra rambut nyiur, melambai dengan karangan indah bunga-bunga pesona. Hari ini datang hati yang terhimpit berjuta abstrak lukisan hati. Entah ini rasa rindu, sedih, ataukah cinta yang remuk redam.

Pantai Prigi, panorama alam di deretan pantai selatan pulau Jawa, menyisakan kenangan indah dan pilu bagiku. Di pantai itu, aku tunduk dan jatuh meski tak sakit. Aku jatuh hati kepada seorang gadis cantik, teman satu kampus beda jurusan. “Ajeng Ayu Angraeni”, nama indah yang tak akan terhapus dari ingatanku. Gadis manis dengan senyuman mawar, rambut blonde mirip none belanda yang menawan dan mempesona.

Saat kami dan beberapa teman kuliah menghabiskan waktu liburan di pantai itu, kebersamaan membawa kami lebih dekat dan akrab. Benih-benih cintapun mulai tumbuh bersemi di hati. Saat hatiku tertawan tebaran jaring asmara, aku mulai mendekatinya. Seolah-olah Cupid putra Aphodite-lah yang menuntun langkahku dan membawa raga ini kepadanya.

Tak ayal, jantungpun berdetak kencang seakan genderang perang mendera dada ini. Saat sampai dihadapanya, ku tatap bola matanya yang jernih mengkilau. Dengan keberanian tekad bulat, kuluapkan semua hasrat cinta yang bergelora di hati. Tak dinyana, kerisauanku sirna. Cintaku terbalas.
“iya Agung. Sebenarnya, akupun telah lama memeperhatikanmu. Rasanya aku tidak bisa mendustai hati ini. Aku juga menyayangimu.” Kata-kata itu meluncur indah dari bibir manisnya, hingga aku tak akan pernah bisa lupa sepatah katapun kalimatnya.

Sepekan sekali, kami habiskan waktu dan hari-hari di pantai prigi. Duduk berdua di atas dermaga yang menjorok ke pantai sambil menikmati gugusan bukit di tengah pantai yang terselubung indahnya kabut putih. Berhembus empat penjuru mata angin, bergolak satu cinta di antara empat penjuru itu. Terlukis ombak yang membentur pantai atas dua cinta dalam satu hati yang bercumbu. Nyiur melambai atas nama asmara. Tuntun cinta laksana sepoi pasir putih. Pandang dua insan yang terlena asmara. Kalahkan debur keras sang ombak.
Namun malang hati, kenangan manis dan masa-masa indah itu telah berakhir. Akhir November menjadi saat terakhir kami bertemu disini.

******************

Seperti biasa, kami membuat janji untuk bertemu di pantai Prigi, saat itu aku datang lebih awal dan menunggu kedatangya. Lantas akupun duduk di atas dermaga yang biasa kusinggahi bersama Ajeng. Kunikmati indahnya panorama pantai prigi yang menyejukan jiwa.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara sebuah sepeda motor berhenti dari arah belakang. Aku menoleh seraya membalikan badan kearah sumber suara. Motor itu berhenti agak jauh dari tempatku berada, lalu kulihat sebuah motor mengkilat berwarna biru dengan tulisan thunder di bagian tengki bensinya.

Sebuah motor yang taka sing lagi bagiku. Begitu pula kedua pengendara di atas motor itu. Ya, motor itu milik Pramudya, sahabatku. Aku agak heran kenapa Pram bisa datang bersama ajeng, padahal mereka tak saling akrab.

Beberapa saat kemudian, Ajeng turun dari motor dan menghampiriku. Namun Pram tidak ikut serta. Dia hanya menunggu dari tempatnya sambil menghentikan motor. Aku sengaja tidak memanggilnya.
“Hai, Gung. Sudah lama menunggu?” Ajeng menyapaku sembari duduk di sampingku. Entah mengapa aku merasa sapaanya kali ini berbeda dari biasanya.
“iya, lumayan sih.” Balasku singkat.
“kok bareng Pram? , ketemu dimana?” lanjutku, masih penasaran atas kedatanganya bersama temanku itu.
“Pram tadi menjemputku di rumah”. Jawabnya seraya menatap kearah pantai.
Diselipkan rambut blonde yang menutupi wajah manisnya ketelinga, sembari bernafas dalam-dalam. “Agung, aku mau ngomong sesuatu,” katanya.
“ngomong apa jeng? , kok kelihatanya penting gitu.?” Jawabku sambil membenahkan posisi duduk.
“Maafkan aku jika mulai hari ini, aku tidak bisa menyapamu dengan kata sayang lagi. Aku ingin hubungan ini sampai disini.” Ucap ajeng seraya membalikan wajah dari hadapanku.
Kontan aku berdiri. “maksudmu, kamu minta putus?” ujarku, mencoba mencerna kalimat yang diucapkan ajeng.
“kamu ngak serius kan?” tanyaku lagi, sungguh-sungguh berharap Ajeng hanya bercanda.
“Aku serius Gung,” jawabnya. Mencoba menyakinkanku.
“Tapi, kenapa jeng?, aku punya salah?” tanyaku terputus-putus berusaha mengetahui alasanya.
“lama-lama aku merasa tidak ada kecocokan lagi diantara kita. Jujur aku lebih mencintai Pram” Alasan Ajeng langsung sukses menyayat-nyayat hati ini.
“Tidak cocok? Pram?” tanyaku singkat masih belum mengerti.
“iya, ternyata aku lebih menyayangi Pram. Kurasa, sekaranglah saat yang tepat bagiku untuk memilih pendampingku di antara kalian berdua. Maafkan aku Gung, aku memilih Pram.” Kali ini penjelasan Ajeng malah melukai hatiku lebih pedih lagi.
“Maafkan aku Gung, ku harap kamu mengerti semua ini. Terima kasih atas segalanya.” Kata Ajeng.
Kepalaku tiba-tiba berat, pusing, keringat dingin menyucur deras. Wajahku memucat.

**************************

Tak kusadari, ufuk telah memerah. Rasa puas dalam  hati memang  tak berpuncak untuk mengenang semua kisah ini. Hati masih menghimpit sesak, mengenang kenangan asmara Pantai Prigi dan remukan sebuah hati. Kapan remukan hati tersebut tersusun dan tertempel rapi kembali di atas secarik kertas senyuman?, aku pun tak tahu. Yang jelas asmara Pantai Prigi tak akan hilang dalam memori.

*SEMOGA BISA MEMBERI INSPIRASI DAN BERMANFAAT.. ^.^V


Tidak ada komentar:

Posting Komentar