Belum usai bencana gunung Merapi yang melanda Yogjakarta, pengungsi-pengugsi korban bencana masih kelaparan dan bingung bukan kepalang tentang nasib hidup mereka selanjutnya, dan belum lagi genap diadakan selamatan seribu hari wafatnya mbah Marijan, sang juru kunci Merapi yang rendah hati itu. Daerah ini kembali menjadi perhatian kalayak ramai lantaran pemerintah pusat mempertanyaakan keistimewaan kesultanan Yogjakarta. Yogjakarta memang merupakan tempat yang mengesankan bagi siapapun yang pernah berkunjung ke tempat ini. Disini jejak-jejak kebudayaan bangsa jawa di masa silam dapat ditemui. Dari Kraton, Malioboro, Parangtritis hingga Sarkem. Hahaha. Tempat ini juga terkenal sebagai kota orang pinter, para pelajar dengan UGM sebagai symbolnya, dimana otak-otak anak manusia didesain layaknya otak Einstein. Secara pribadi saya sendiri juga memiliki pengalaman yang paling berkesan di tempat ini. Dimana saya harus pusing bukan kepalang bahkan tujuh keliling menghitung deretan angka-angka kerugian dalam buku akutansi, sewaktu mengawal bisnis dagang bapakku di pasar induk Gamping Yogjakarta. Dan akhirnya hanya bisa meredam kacaunya pikiran dengan segelas kopi di angkringan sudut pasar. Dan yang paling mengesankan dan so sweet lagi kayak di sinetron-sinetron gitu, saya juga pernah memadu kasih dengan gadis Jogja lo.. kwkwkwkwk.. ah, lupakan…
Sebenarnya saya malas berbicara masalah demokrasi di negeri ini. Bukanya saya anti demokrasi atau manusia pasif yang tak peduli dengan seluk beluk demokrasi di negeri ini. Saya pemuja demokrasi, tapi saya tidak mengerti demokrasi di negeri ini. Sehingga saya malas bicara perihal tentang demokrasi di negeri ini. Namun saya terusik akhir-akhir ini sewaktu menjalani rutinitas wajib yaitu singgah di warkop, Koran yang tersuguh di meja warkop setiap hari memberitakan wacana tentang pemerintah pusat yang mempertanyaan system kesultanan di Yogjakarta atas nama demokrasi. Rasanya dengan secepat kilat media melupakan para pengungsi yang sengsara akibat bencana Merapi. Yang tempo hari mereka sangat semangat memberitakan orang-orang kelaparan di pengungsian, mayat-mayat yang terpanggang, wedus gembel yang mengepul, menumpas siapa dan apa saja yang berpapasan dengannya. kabar Merapi yang selalu ditempatkan pada headline berita utama hilang tak berbekas. Ah media,.. !! . Wacana itu mengusik hati saya untuk membuat coretan-coretan iseng ini. Yang katanya System pemerintahan kesultanan Yogjakarta dinilai bertentanagan dengan system demokrasi yang dianut oleh Republik Indonesia lantaran Yogjakarta memakai system monarki. System yang menjadikan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan wakil Gubernur seumur hidup dan turun temurun.
****************************
Ah,saya Cuma orang awam…
Saya tak mengerti secara pasti, apa itu definisi demokrasi atau apa itu monarki. Demokrasi yang selalu didengungkan atas nama rakyat. Konon katanya demokrasi itu adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman paling sederhana yang diamini oleh kebanyakan orang. Rakyat yang menetukan pemerintahan, rakyat yang memegang kendali katanya. Di negeri ini rakyat memilih langsung pemimpin-pemimpin dan wakil-wakil mereka. pemimpin dalam system ini kata Pakde Max Weber, sosiolog dari Jerman itu mengataken, Pemimpin mendapatkan wewenang secara Rasioanl-legal. Yaitu wewenang yang disandarkan pada system hukum yang berlaku di masyarakat. System hukum disini dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara. Wujudnya berupa pemilu. And than,.. Pemilu digelar, kaos-kaos partai bertebaran, dari partai gambar banteng nyruduk sampai partai burung emprit, dari partai Hanuman sampai partai pohon Bonsai ada semua. Dan uang-uang bertaburan dari para calon pemimpin. Sekali lagi, saya Cuma orang awam dan tidak mengerti apa itu demokrasi?. sehingga Saya bertanya dalam hati, apa ini yang dinamakan demokrasi? Rakyat dikasih kaos, dikasih uang, dikasih bantuan untuk memilih calon pemimpin itu. Kemudian dicekoki dengan janji-janji, kemudian saling hasut, gontok-gontokan antar pendukung, selebihnya saling lempar batu, membakar, mengamuk membabi buta ketika calon yang ngasih kaos tersebut kalah. Kalau itu yang namanya demokrasi. Yang katanya buah dari perjuangan reformasi, sebagai kran pembuka jalanya demokrasi di Indonesia?. Rasanya tidak perlu Reformasipun saya sudah sering melihat demokrasi macam ini. Ketika calon-calon kepala desa di desaku dan desa-desa pada umumnya. berlomba-lomba membagi-bagikan uang, rokok, sembako paling banyak untuk memikat hati masyarakat kampung untuk memilihnya.
***************************
Ah,saya cuma orang awam,….
Saya juga tidak begitu faham dengan apa yang disebut monarki pada kesultanan Yogjakarta. System yang dinamai monarki ini, katanya bertentangan dengan demokrasi yang diterapkan di Republik Indonesia, Itu katanya Kanjeng Presiden EsBeYe. Pemimpinya tidak dipilih secara demokratis namun melalui kesepakatan adat. Kalau kata Pakde Max Weber lagi, tipe pemimpin ini memperoleh wewenang tradisional. Wewenang tradisional dapat dimiliki oleh seseorang maupun sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok. Kelompok mana sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat di jiwai menurut keyakinan tradisi. Konon katanya system monarki yang mendaulat Sultan sebagai pemimpin Nagari Ngayogyokarto Hadidiningrat sudah dimulai lama sebelum Negara Republik Indonesia ini berdiri, sebelum Kanjeng Presiden EsBeYe lahir. Sejarah mencatat wilayah kesultanan memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah (negaranya) sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara. Dan selama itu rakyat tidak menggugat dan tetap menghendaki system Kesultanan di Ngayogyokarto Hadidiningrat. Lalu apa bedanya demokrasi dengan Monarki? Kalau pada kasus ini sistem kesultanan Yogjakarta di dakwa telah berbenturan dengan demokrasi. Toh kedua-duanya sama-sama kehendak rakyat?
*************************
Ah, saya Cuma orang awam,…
Saya tak begitu faham dengan apa yang dipermasalahkan antara system demokrasi dengan monarki. Yang saya tahu saat ini, entah mau pake system demokrasi ataupun monarki, rakyat di sekitar saya khususnya, dan Indonesia umumnya hanya memerlukan “KESEJAHTERAAN, KEADILAN”. Tiada guna itu para pemimpin berteriak-teriak demokrasi untuk rakyat. Toh mereka hanya memperjuanagkan kepentingan partai dan tunduk pada petinggi partai bukan pada orang yang memilih mereka. tiada guna itu namanya demokrasi kalau rakyatnya pada busung lapar, sarjana-sarjana berjibun jadi penganguran terpelajar, perempuan-perempuan di-eksport jadi babu dan dinistakan di negeri orang, rakyat saling hantam demi kemenangan calon pemimpin yang hanya ditukar dengan sepotong kaos dan lembaran rupiah. Pemimpin berleha diatas tahta, perut buncit dan rakyatnya kelaparan. Sekali lagi, dengan segala ke-awaman saya, apa itu demokrasi? Dengan dana pinjaman alias utang, demokrasi di jalankan, pemilu-pemilu langsung diselenggarakan dengan biaya yang mahal bukan kepalang, yang endingnya hanya memilih orang-orang yang suka tidur di ruang rapat, yang tak beretika sehingga harus perlu kursus dengan biaya mahal tentang etika di negarinya Socrates, Yunani. orang-orang yang hobi berdebat kusir dan saling keroyok di ruang sidang, yang tak tahu desiplin sehingga harus kursus pramuka ke negerinya Mandela, Afsel.
Mereka bilang “kita ini masih belajar demokrasi” ujarnya.
“ belajar kok terus, kapan prakteknya” sahut tukang somai di pinggir jalan.
**************************
Ah, saya Cuma orang awam,….
Saya tidak mengerti demokrasi di negeri ini, demokrasi di negeri ini hanya tahayul, lebih feodal dari pada feodalnya monarki. Koruptor semakin meraja rela, komprador tanpa nurani menjual negeri, penguasa saling berlomba mempertahankan kekuasaanya, tawar menawar kedudukan. Rasanya negeri ini memang sudah dikutuk menjadi bangsa “sial” sejak Adam di turunkan di bumi, manusia memenuhi hukum yang di buatnya, menguasai dan di kuasai, lepas dari Kolonial asing, masuk perangkap kolonial pribumi. Apalah artinya memakai system demokrasi atau system monarki, kalau toh rakyat tidak makmur jua. Ambilah contoh Brunei Darussalam, negeri mungil di ujung Borneo itu tenang-tenang saja dengan monarkinya. Rakyat Brunei tidak bakal menggugat Dinasti Sultan Hasanah Bolkiah, walau mau jadi sultan sampai tujuh turunanpun, atau sekaya apapun. Karena apa? Karena sudah sesuai dengan kondisi dan kebiasaan mereka, kebutuhan dasar sebagai rakyat yaitu KESEJAHTERAAN sudah dijamin. Tidak perlu mereka takut miskin kemudian mencalonkan diri jadi peserta pemilu untuk mencari jabatan dan kekayaan. Bahkan inggris yang merupakan bekas penjajahnya dan pendakwah demokrasi itu tidak mengutik-utik monarki yang di jalankan di Brunei. Sedangkan negeri ini yang sejak zaman Insinyur, Jendral, Doktor, kyai, sampai emak-emak jadi Presiden. Sudah merancang suatu system yang di sebut demokrasi yang tujuan utamanya untuk kesejahteraan bangsa, justru malah tidak menemukan system yang tepat untuk menuju tujuan tersebut. Malah cenderung memaksakan diri untuk memakai system demokrasi seperti Negara-negara barat dan Amerika. Memilih pemimpin-pemimpin secara langsung dengan biaya amit-mait mahalnya.
“Untuk mewujudkan demokrasi itu mahal”. Ujar mereka.
“Terus kalau mahal dari mana kita akan membiayai demokrasi itu, kita kan gak punya duit?”.tanya penjual tahu thek disebelahnya.
“ Ya, kalau perlu hutang bang”. Kata mereka lagi.
Oh,.. Jagat Dewa Bharata, lepaskan bangsaku dari kutukan ini.
***************************
Ah, saya Cuma orang awam…..
Saya juga tidak mengerti, kenapa media lebih gandrung dengan berita Polemik keistimewaan Yogjakarta dari pada manusia-manusia yang dirundung kesusahan korban bencana Merapi. kenapa media terkesan memVERSUSkan kanjeng Presiden dan Kenjeng Sultan. Sang presiden seakan-akan digugat habisa-habisan, kalau ingat perkelahian masa kecil dulu, waktu saya masih bocah ingusan yang suka maen kelereng. Kanjeng Presiden itu layaknya anak yang memenangkan banyak kelereng yang mengolok-olok teman-temannya yang kalah dengan menjulurkan lidahnya kepada mereka, kemudian temanya beramai-ramai mengeroyok dan menyudutkanya dibalik dinding. Kemudian di Jogja sendiri beramai-ramai masyarakat mengalang gerakan referendum, bahkan yang paling mengkhawatirkan menjurus ke kembalinya kejayaan Nagari Ngayogjokarto Hadidiningrat masa lampau, alias memisahkan diri dari Republik Indonesia. Semacam sikap nasionalisme lokal untuk daerahnya. Semua daerah tentu punya sejarah keistimewaan sendiri, dan keistimewaanya daerahnya masing-masing. Bisa saja setelah mengetahui berita nasionalisme lokal masyarakat Yogjakarta tersebut, masyarakat di tempat kelahirankupun, di daerah Bojonegoro sana mungkin akan terpancing untuk mendirikan kembali kejayaan kerajaan Malwapati pada masa Gusti Prabu Angling Darma. Kemudian melepaskan diri dari Republik Indonesia, Karena menyadari bahwa daerahnya memiliki keistimewaan sebagai penghasil minyak bumi yang melimpah, sedang masyarakatnya masih saja tidak sejahtera. Dan bisa saja daerah-daerah lain di negeri kita tercinta ini. Sebagai putra bangsa tentunya kita semua tidak ingin kejadian lepasnya Timor Leste dulu terulang lagi. Maka dari itu kenalilah bangsamu wahai pemimpin, mereka tidak butuh perdebatan demokrasi ataupun monarki, yang mereka butuhkan adalah kesejahteraan, keadilan, kejujuran pemimpinya. kita memang memerlukan system pemerintahan yang stabil untuk menuju keadilan dan kesejahteraan. Entah demokrasi entah monarki, namun demokrasi dan monarki yang tahu diri, demokrasi dan monarki yang tidak mekso, demokrasi yang memanusiakan manusia.
UNTUK TERAKHIR KALINYA, SAYA CUMA ORANG AWAM YANG BELUM BANYAK TAHU SEHINGGA INGIN TAHU BANYAK…..
Monggo dipun waos,.. pareng rumiyen njih ndoro… ^.^V



