Kamis, 12 Januari 2012

AH, SAYA CUMA ORANG AWAM

Surabaya, sudut kontrakan, 2 Desember 2010. Pukul : 00.04 WIB

Belum usai bencana gunung Merapi yang melanda Yogjakarta, pengungsi-pengugsi korban bencana masih kelaparan dan bingung bukan kepalang tentang nasib hidup mereka selanjutnya, dan belum lagi genap diadakan selamatan seribu hari wafatnya mbah Marijan, sang juru kunci Merapi yang rendah hati itu. Daerah ini kembali menjadi perhatian kalayak ramai lantaran pemerintah pusat mempertanyaakan keistimewaan kesultanan Yogjakarta. Yogjakarta memang merupakan tempat yang mengesankan bagi siapapun yang pernah berkunjung ke tempat ini. Disini jejak-jejak kebudayaan bangsa jawa di masa silam dapat ditemui. Dari Kraton, Malioboro, Parangtritis hingga Sarkem. Hahaha. Tempat ini juga terkenal sebagai kota orang pinter, para pelajar dengan UGM sebagai symbolnya, dimana otak-otak anak manusia didesain layaknya otak Einstein. Secara pribadi saya sendiri juga memiliki pengalaman yang paling berkesan di tempat ini. Dimana saya harus pusing bukan kepalang bahkan tujuh keliling menghitung deretan angka-angka kerugian dalam buku akutansi, sewaktu mengawal bisnis dagang bapakku di pasar induk Gamping Yogjakarta. Dan akhirnya hanya bisa meredam kacaunya pikiran dengan segelas kopi di angkringan sudut pasar. Dan yang paling mengesankan dan so sweet lagi kayak di sinetron-sinetron gitu, saya juga pernah memadu kasih dengan gadis Jogja lo.. kwkwkwkwk.. ah, lupakan…

Sebenarnya saya malas berbicara masalah demokrasi di negeri ini. Bukanya saya anti demokrasi atau manusia pasif yang tak peduli dengan seluk beluk demokrasi di negeri ini. Saya pemuja demokrasi, tapi saya tidak mengerti demokrasi di negeri ini. Sehingga saya malas bicara perihal tentang demokrasi di negeri ini. Namun saya terusik akhir-akhir ini sewaktu menjalani rutinitas wajib yaitu singgah di warkop, Koran yang tersuguh di meja warkop setiap hari memberitakan  wacana tentang pemerintah pusat yang mempertanyaan system kesultanan di Yogjakarta atas nama demokrasi. Rasanya dengan secepat kilat media melupakan para pengungsi yang sengsara akibat bencana Merapi. Yang tempo hari mereka sangat semangat memberitakan orang-orang kelaparan di pengungsian, mayat-mayat yang terpanggang, wedus gembel yang mengepul, menumpas siapa dan apa saja yang berpapasan dengannya. kabar Merapi yang selalu ditempatkan pada headline berita utama hilang tak berbekas. Ah media,.. !! . Wacana itu mengusik hati saya untuk membuat coretan-coretan iseng ini. Yang katanya System pemerintahan kesultanan Yogjakarta dinilai bertentanagan dengan system demokrasi yang dianut oleh Republik Indonesia lantaran Yogjakarta memakai system monarki. System yang menjadikan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan wakil Gubernur seumur hidup dan turun temurun.

****************************
Ah,saya Cuma orang awam…
Saya tak mengerti secara pasti, apa itu definisi demokrasi atau apa itu monarki. Demokrasi yang selalu didengungkan atas nama rakyat. Konon katanya demokrasi itu adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman paling sederhana yang diamini oleh kebanyakan orang. Rakyat yang menetukan pemerintahan, rakyat yang memegang kendali katanya. Di negeri ini rakyat memilih langsung pemimpin-pemimpin dan wakil-wakil mereka. pemimpin dalam system ini kata Pakde Max Weber, sosiolog dari Jerman itu mengataken, Pemimpin mendapatkan wewenang secara Rasioanl-legal. Yaitu wewenang yang disandarkan pada system hukum yang berlaku di masyarakat. System hukum disini dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara. Wujudnya berupa pemilu. And than,.. Pemilu digelar, kaos-kaos partai bertebaran, dari partai gambar banteng nyruduk sampai partai burung emprit, dari partai Hanuman sampai partai pohon Bonsai ada semua. Dan uang-uang bertaburan dari para calon pemimpin. Sekali lagi, saya Cuma orang awam dan tidak mengerti apa itu demokrasi?. sehingga Saya bertanya dalam hati, apa ini yang dinamakan demokrasi? Rakyat dikasih kaos, dikasih uang, dikasih bantuan untuk memilih calon pemimpin itu. Kemudian dicekoki dengan janji-janji, kemudian saling hasut, gontok-gontokan antar pendukung, selebihnya saling lempar batu, membakar, mengamuk membabi buta ketika calon yang ngasih kaos tersebut kalah. Kalau itu yang namanya demokrasi. Yang katanya buah dari perjuangan reformasi, sebagai kran pembuka jalanya demokrasi di Indonesia?. Rasanya tidak perlu Reformasipun saya sudah sering melihat demokrasi macam ini. Ketika calon-calon kepala desa di desaku dan desa-desa pada umumnya. berlomba-lomba membagi-bagikan uang, rokok, sembako paling banyak untuk memikat hati masyarakat kampung untuk memilihnya.

***************************
Ah,saya cuma orang awam,….
Saya juga tidak begitu faham dengan apa yang disebut monarki pada kesultanan Yogjakarta. System yang dinamai monarki ini, katanya bertentangan dengan demokrasi yang diterapkan di Republik Indonesia, Itu katanya Kanjeng Presiden EsBeYe. Pemimpinya tidak dipilih secara demokratis namun melalui kesepakatan adat. Kalau kata Pakde Max Weber lagi, tipe pemimpin ini memperoleh wewenang tradisional. Wewenang tradisional dapat dimiliki oleh seseorang maupun sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok. Kelompok mana sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat di jiwai menurut keyakinan tradisi. Konon katanya system monarki yang mendaulat Sultan sebagai pemimpin Nagari Ngayogyokarto Hadidiningrat sudah dimulai lama sebelum Negara Republik Indonesia ini berdiri, sebelum Kanjeng Presiden EsBeYe lahir. Sejarah mencatat wilayah kesultanan  memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah (negaranya) sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara. Dan selama itu rakyat tidak menggugat dan tetap menghendaki system Kesultanan di Ngayogyokarto Hadidiningrat. Lalu apa bedanya demokrasi dengan Monarki? Kalau pada kasus ini sistem kesultanan Yogjakarta di dakwa telah berbenturan dengan demokrasi. Toh kedua-duanya sama-sama kehendak rakyat?

*************************
Ah, saya Cuma orang awam,…
Saya tak begitu faham dengan apa yang dipermasalahkan antara system demokrasi dengan monarki. Yang saya tahu saat ini, entah mau pake system demokrasi ataupun monarki, rakyat di sekitar saya khususnya, dan Indonesia umumnya hanya memerlukan “KESEJAHTERAAN, KEADILAN”. Tiada guna itu para pemimpin berteriak-teriak demokrasi untuk rakyat. Toh mereka hanya memperjuanagkan kepentingan partai dan tunduk pada petinggi partai bukan pada orang yang memilih mereka. tiada guna itu namanya demokrasi kalau rakyatnya pada busung lapar, sarjana-sarjana berjibun jadi penganguran terpelajar, perempuan-perempuan di-eksport jadi babu dan dinistakan di negeri orang, rakyat saling hantam demi kemenangan calon pemimpin yang hanya ditukar dengan sepotong kaos dan lembaran rupiah. Pemimpin berleha diatas tahta, perut buncit dan rakyatnya kelaparan. Sekali lagi, dengan segala ke-awaman saya, apa itu demokrasi? Dengan dana pinjaman alias utang, demokrasi di jalankan, pemilu-pemilu langsung diselenggarakan dengan biaya yang mahal bukan kepalang, yang endingnya hanya memilih orang-orang yang suka tidur di ruang rapat, yang tak beretika sehingga harus perlu kursus dengan biaya mahal tentang etika di negarinya Socrates, Yunani.  orang-orang yang hobi berdebat kusir dan saling keroyok di ruang sidang, yang tak tahu desiplin sehingga harus kursus pramuka ke negerinya Mandela, Afsel.
Mereka bilang “kita ini masih belajar demokrasi” ujarnya.  
“ belajar kok terus, kapan prakteknya” sahut tukang somai di pinggir jalan.

**************************
Ah, saya Cuma orang awam,….
Saya tidak mengerti demokrasi di negeri ini, demokrasi di negeri ini hanya tahayul, lebih feodal dari pada feodalnya monarki. Koruptor semakin meraja rela, komprador tanpa nurani menjual negeri, penguasa saling berlomba mempertahankan kekuasaanya, tawar menawar kedudukan. Rasanya negeri ini memang sudah dikutuk menjadi bangsa “sial” sejak Adam di turunkan di bumi,  manusia memenuhi hukum yang di buatnya, menguasai dan di kuasai, lepas dari Kolonial asing, masuk perangkap kolonial pribumi. Apalah artinya memakai system demokrasi atau system monarki, kalau toh rakyat tidak makmur jua. Ambilah contoh Brunei Darussalam, negeri mungil di ujung Borneo itu tenang-tenang saja dengan monarkinya. Rakyat Brunei tidak bakal menggugat Dinasti Sultan Hasanah Bolkiah, walau mau jadi sultan sampai tujuh turunanpun, atau sekaya apapun. Karena apa? Karena sudah sesuai dengan kondisi dan kebiasaan mereka, kebutuhan dasar sebagai rakyat yaitu KESEJAHTERAAN sudah dijamin. Tidak perlu mereka takut miskin kemudian mencalonkan diri jadi peserta pemilu untuk mencari jabatan dan kekayaan. Bahkan inggris yang merupakan bekas penjajahnya dan pendakwah demokrasi itu tidak mengutik-utik monarki yang di jalankan di Brunei. Sedangkan negeri ini yang sejak zaman Insinyur, Jendral, Doktor, kyai, sampai emak-emak jadi Presiden. Sudah merancang suatu system yang di sebut demokrasi yang tujuan utamanya untuk kesejahteraan bangsa, justru malah tidak menemukan system yang tepat untuk menuju tujuan tersebut. Malah cenderung memaksakan diri untuk memakai system demokrasi seperti Negara-negara barat dan Amerika. Memilih pemimpin-pemimpin secara langsung dengan biaya amit-mait mahalnya.
“Untuk mewujudkan demokrasi itu mahal”. Ujar mereka.  
“Terus kalau mahal dari mana kita akan membiayai demokrasi itu, kita kan gak punya duit?”.tanya penjual tahu thek disebelahnya.
“ Ya, kalau perlu hutang bang”. Kata mereka lagi.
Oh,.. Jagat Dewa Bharata, lepaskan bangsaku dari kutukan ini.

***************************
Ah, saya Cuma orang awam…..
Saya juga tidak mengerti, kenapa media lebih gandrung dengan berita Polemik keistimewaan Yogjakarta dari pada manusia-manusia yang dirundung kesusahan korban bencana Merapi. kenapa media terkesan memVERSUSkan kanjeng Presiden dan Kenjeng Sultan. Sang presiden seakan-akan digugat habisa-habisan, kalau ingat perkelahian masa kecil dulu, waktu saya masih bocah ingusan yang suka maen kelereng. Kanjeng Presiden itu layaknya anak yang memenangkan banyak kelereng yang mengolok-olok teman-temannya yang kalah dengan menjulurkan lidahnya kepada mereka, kemudian temanya beramai-ramai mengeroyok dan menyudutkanya dibalik dinding. Kemudian di Jogja sendiri beramai-ramai masyarakat mengalang gerakan referendum, bahkan yang paling mengkhawatirkan menjurus ke kembalinya kejayaan Nagari Ngayogjokarto Hadidiningrat masa lampau, alias memisahkan diri dari Republik Indonesia. Semacam sikap nasionalisme lokal untuk daerahnya. Semua daerah tentu punya sejarah keistimewaan sendiri, dan keistimewaanya daerahnya masing-masing. Bisa saja setelah mengetahui berita nasionalisme lokal  masyarakat Yogjakarta tersebut, masyarakat di tempat kelahirankupun, di daerah Bojonegoro sana mungkin akan terpancing untuk mendirikan kembali kejayaan kerajaan Malwapati pada masa Gusti Prabu Angling Darma. Kemudian melepaskan diri dari Republik Indonesia, Karena menyadari bahwa daerahnya memiliki keistimewaan sebagai penghasil minyak bumi yang melimpah, sedang masyarakatnya masih saja tidak sejahtera. Dan bisa saja daerah-daerah lain di negeri kita tercinta ini. Sebagai putra bangsa tentunya kita semua tidak ingin kejadian lepasnya Timor Leste dulu terulang lagi. Maka dari itu kenalilah bangsamu wahai pemimpin, mereka tidak butuh perdebatan demokrasi ataupun monarki, yang mereka butuhkan adalah kesejahteraan, keadilan, kejujuran pemimpinya. kita memang memerlukan system pemerintahan yang stabil untuk menuju keadilan dan kesejahteraan. Entah demokrasi entah monarki, namun demokrasi dan monarki yang tahu diri, demokrasi dan monarki yang tidak mekso, demokrasi yang memanusiakan manusia.

UNTUK TERAKHIR KALINYA, SAYA CUMA ORANG AWAM YANG BELUM BANYAK TAHU SEHINGGA INGIN TAHU BANYAK…..
Monggo dipun waos,..  pareng rumiyen njih ndoro… ^.^V


SEGELAS KOPI DI WARKOP GANG DOLLY (Diary Sosiologis Tentang Perempuan, Cinta dan Seks)

SEGELAS KOPI DI WARKOP GANG DOLLY
(Diary Sosiologis Tentang Perempuan, Cinta dan Seks)
Surabaya, Oktober 2010

Jenuh dengan aktivitas keseharian, aku besama teman-temanku berkeliling di jalanan kota surabaya  tanpa tujuan. Seperti malam- malam biasanya, kota Surabaya tak pernah kering dengan tempat-tempat hiburan di malam hari. Namun kami tak tahu harus kemana untuk menikmati malam ini. Iseng-iseng muncul di benak kami untuk pergi ke Gang Dolly yang berada di jalan Jarak Surabaya. “Eitzz… jangan negative thinking dulu ya!!”, Bukan bermaksud untuk “jajan” (membeli jasa seks), namun hanya sekedar cangkrukkan dan menikmati kopi di salah satu warkop yang ada disana. Ya, minuman yang mengandung kafein, yang menyebabkan rasa pahit kopi karena hasil metabolisme sekunder golongan alkaloid, minuman ini menjadi kegemaranku dan teman-temanku ketika cangkrukan. Sebuah aktivitas yang menjadi tradisi untuk menjalin kebersamaan yang biasa disebut “ ngopi ”. Jangan heran juga jika tempat kami ngopi adalah tempat yang dianggap haram masyarakat. Sebagai orang sosiologi berbagai jenis karakteristik masyarakat adalah teman kami, dari penjual asongan, pengamen, pejabat, pendeta, kyai sampai pelacur sekalipun. Karena masyarakat adalah laboratorium kami, masyarakat adalah guru kami.

Sesampainya di Dolly, kami segera memarkir motor, kemudian berjalan-jalan dan bercanda disepanjang jalan Jarak dan gang Dolly mengamati aktivitas social disana. Gang Dolly, salah satu surga seks yang terbesar   di Asia tenggara. Diperkirakan terdapat 800 lebih wisma esek-esek, cafe Dangdut dan panti pijat pelacuran plus-plus, yang berjejer rapi dikawasan Jarak tersebut. Dan diperkirakan ada sekitar 9000 lebih Penjaja cinta, Pelacur Remaja dibawah umur, Germo, ahli pijat aurat yang selalu siap menawarkan jasa seks. Dan terdapat ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, calo Prostitusi yang berdiri disepanjang jalan sambil sibuk menawarkan para jasa PSK. Mereka  semua menggantungkan hidup di Lokalisasi Pelacuran Jarak Dolly tersebut. Kenyaataan ini menunjukan selain dianggap hina, lokalisai juga merupakan tumpuan ekonomi bagi masyarakat. Berlaku standart ganda disini, disisi lain pemerintah melarang prostitusi namun di lain sisi pemerintah memperoleh pajak dari tempat ini. Mungkin saja kalau collective conscience masyarakat mengizinkan, tempat ini bisa saja menjadi sebuah kota prostitusi yang megah, yang di pusat kotanya berdiri sebuah patung Marilyn Monroe sebagai monument kebesaran kota, (Seperti sejarah mencatat bahwa Marilyn Monroe merupakan symbol seks pada zamanya, ia menjadi trendsetter di era 60-an). Layaknya monument ikan sura dan buaya yang menjadi symbol kebanggaan kota Surabaya. (hahaha abaikan saja, cerita monument Monroe ini Cuma khayalan saja).

Sebuah warung kopi yang berada di salah satu sudut gang Dolly menjadi pilihan kami. Entah kopi dari jenis varietas arabika atau robusta yang disuguhkan di hadapkanku, yang pasti rasanya nikmat sekali. Ku nikmati kopi yang ada di depanku sembari mengamati aktivitas sosial yang ada di tempat ini.  Ya, sebuah perkampungan prostitusi Dolly, terdapat Perempuan-perempuan dengan pakaian minim nan seksi, make up tebal 5 cm, gincu merah merona, harum parfum yang menyengat hidung,  yang menjajakan kemolekan tubuh dalam etalase-etalase rumah bordil di sepanjang gang Dolly. Para perempuan malam yang berharap Tuhan menyisakan sedikit waktu untuk mereka bertobat. Karena aku yakin, semua perempuan malam disini juga ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih layak karena menjadi pelacur di Dolly bukanlah cita-cita maupun pilihan hidup mereka dari kecil.

Disini lelaki tak perlu repot-repot menulis puisi cinta untuk menarik hati, tak perlu menyita waktu berhari-hari untuk bergelut dalam kacaunya psikologi dengan campur aduknya perasaan untuk mendapatkan perempuan-perempuan itu. Hanya perlu beberapa lembar rupiah saja sudah mendapatkan belaian kasih sayang, cumbu rayu, ciuman manja, pelukan hangat dan kenikmatan birahi lainya. Pernahkah muncul pertanyaan dalam benak anda, kenapa tempat prostitusi hanya menyediakan jasa seks dari pelacur-pelacur perempuan? Kenapa tidak tersedia suatu tempat prostitusi jasa seks dari pelacur-pelacur pria alias gigolo?, kenapa harus perempuan yang menjadi objek seks? Bukankah tante-tante girang juga banyak yang membutuhkan jasa seks pelacur laki-laki/gigolo?. Hemmm… Keindahan perempuan dan kekaguman laki-laki terhadap perempuan memang sudah menjadi cerita klasik. Hal itu karena Pandangan gender yang mengakibatkan Gender related violence, atau kekerasan gender dengan stereotip perempuan sebagai objek seks. Ada dua aliran pemikiran yang menyoroti masalah perempuan sebagai objek seks,  yaitu Feminis radikal dan feminis marxis. Feminis radikal, menganggap bahwa jenis kelamin sebagai sumber persoalan ketimpangan gender dan ideology patriarki. Pemikiran ini menuduh laki-laki secara biologis maupun politis menguasai tubuh perempuan, laki-laki memiliki fisik yang lebih kuat untuk memperlakukan perempuan sebagai objek seks. Laki-laki juga secara politis telah menciptakan ideology patriarki sebagai dasar penindasan yang merupakan system hirarki seksual, dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege terhadap perempuan. Sedangkan aliran pemikiran Feminis marxis melihat bahwa ideology kapitalis adalah sumber kekuasaan atas perempuan. Karena laki-laki mengontrol produksi dalam perdagangan, maka mereka menguasai hubungan sosial dan politik. Sedangkan perempuan direduksi hanya sebagai bagian dari property, dengan demikian laki-laki memiliki kontrol seks atas perempuan sebagai bagian dari kekuasaan social laki-laki. Sehingga tak ada ceritanya perempuan memperkosa laki-laki, tak ada ceritanya laki-laki menuntut perempuan karena pelecehan seksual.

Dalam tradisi patriarki, perempuan dikontruksikan pada posisi subordinasi. Hal ini didukung pula dalam rekontruksi media massa melalui iklan-iklan komersil. Iklan pada umumnya mengkontruksi perempuan harus cantik secara fisik, seksi dan sebagai objek seks. Seperti contoh iklan kopi “Torabika” dengan motto “ Pass susunya”. Kata-kata itu mengarah pada salah satu organ genital perempuan. Iklan kopi “Ya” yang menampilkan artis Julia Peres bergoyang dengan kemolekan tubuhnya yang seksi. Padahal kalo dipikir, tidak ada hubungannya minum kopi dengan Jupe yang bergoyang. Yang ada hanyalah, eksploitasi tubuh perempuan untuk menarik konsumen, karena konsumen produk kopi mayoritas adalah laki-laki. Dan masih banyak lagi eksploitasi tubuh wanita dalam media massa untuk tujuan komersil. Hal itu adalah bentuk eksploitasi tubuh perempuan oleh media massa untuk kepentingan komersil. Bukanya munafik, sebagai laki-laki normal aku sendiri juga klepek-klepek ketika melihat perempuan cantik nan seksi (dalam artian kagum). Namun aku tidak setuju ketika anugrah yang dimiliki perempuan itu diekploitasi untuk kepentingan komersil, bagiku hal itu malah menjerumuskan perempuan kedalam penghinaan. Kontruksi dalam masyarakat patriarki yang menempatkan wanita sebagai subordinasi sebenarnya memiliki tujuan baik, yaitu menempatkan perempuan pada posisi yang mulia. Perempuan dilindungi, dan laki-laki sebagai pelindung. Walaupun sebenarnya perempuan bisa melakukan seperti apa yang dilakukan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sebenarnya diciptakan untuk saling melengkapi. Namun ketika tujuan itu ditafsirkan dalam hal kekuasaan laki-laki atas perempuan, maka yang terjadi adalah ketimpangan gender.

Aktivitas transaksi jasa seks yang terjadi di gang Dolly. Yaitu hubungan seks heteroseksual, yang selalu berarti hasrat dan aktivitas yang selalu berkembang dari kebutuhan biologis untuk melepaskan ketegangan khusus dalam organisme. Hubungan badani yang sering disebut bercinta. Jelas sekali disini yang ada hanyalah hubungan badani yang terjadi di kamar-kamar rumah bordil yang sebenarnya kering akan cinta, yang sering diidentikan dengan cinta, hingga muncul kata-kata seks yang erat dengan cinta seperti Making Love (ML), bercinta, buah cinta dll. Walaupun terdapat perbedaan yang sangat besar antara pemahaman cinta dan seks, tetapi tidak dapat dibayangkan hubungan cinta yang erat dan sangat spesial tanpa seks (seperti pernikahan, bahkan pacaran). Hubungan erat dan spesial antara pria dan wanita pasti menginjak ke beberapa makna seksual (baik ML maupun sekedar semi  seks seperti berciuman, meraba, berpelukan), sebab hubungan seperti ini membuat seseorang manusia dengan segenap kemanusiaannya condong pada seseorang tertentu. Ini adalah perkara yang dapat dipastikan seks ada di dalamnya. Bahkan seorang pujangga romawi Ovidius,  menerbitkan buku “seni bercinta”, yang isinya adalah memuji-muji seks.  Sehingga Cinta sering diidentikan dengan seks.

Pada umumnya, Kisah cinta anak manusia selalu melewati fase cultural yaitu menikah. diawali dengan proses jatuh cinta, pacaran, menikah dan  happy ending-nya hubungan seksual. Malam pertama adalah special moment yang selalu dinanti-nantikan oleh pasangan kekasih yang baru menikah yang acara intinya adalah hubungan seksual antara kedua lawan jenis yang dalam bahasa kerennya disebut making love (ML). Jika sepasang kekasih setelah menikah dan menghasilkan keturunan, maka keturunannya itu disebut buah cinta. Entah sejak kapan cinta sering dikaitan dengan seks, mengkaitan ketertarikan  hati ke hati  dengan ketertarikan fisik, tubuh seksi, dada membuncang mengundang birahi, dan rintihan lirih mengharu biru dalam hubungan badani?. Ada yang mengatakan bahwa hubungan cinta adalah untuk mencari kebahagian hidup, lalu bisakah pasangan pernikahan bisa hidup bahagia tanpa sebuah hubungan seksual? Ada yang mengatakan hubungan cinta selalu disertai dengan seks lantaran untuk menghasilkan keturunan. Jika hubungan cinta dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, lalu apa bedanya dengan sepasang kera? toh kera tak mempedulikan apa itu jatuh cinta, puisi romantis yang meluluhkan jiwa, atau chemistry yang menyentuh hati kalo kata Coky Sitohang dalam tayangan take me out Indonesia!. (hohoho). Nothing,.. semua itu tidak ada, Yang ada hanya nafsu birahi, musim kawin tiba, sikera jantan mendatangi kera betina, memeluk, kera betina yang terlentang pasrah kemudian kera jantan horny, lalu menindih kera betina dan berpindahlah sperma kera jantan ke rahim betina, kera betina bunting kemudian beranak. Yang ada hanyalah seks, yang selalu berarti hasrat dan aktivitas yang selalu berkembang dari kebutuhan biologis untuk melepaskan ketegangan khusus dalam organisme. Ini merupakan insting yang secara umum terdapat pada diri manusia dan hewan. Namun hubungan badani antar kera tersebut terjadi tanpa akal pikiran, yaitu kera hanya mengikuti gairah seks hewani karena alam bukan karena budaya. Lalu kenapa cinta sering diidentikan dengan seks? Panjang upayaku untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Dalam pandangan Sigmund Freud menjelaskan perihal cinta dalam bukunya Group Psychology and the Analysis Of the Ego. Dia mengatakan bahwa libido adalah ekspresi kuantitatif dari semua kecenderungan energy yang kita rangkum sebagai cinta. Jadi yang disebut cinta oleh Freud adalah cinta diantara dua jenis kelamin. Perasaan-perasaan halus yang kita sebut cinta telah dialihkan dari tujuan-tujuan seks semula, tapi sebagian tujuan itu masih terjaga. Bahkan seorang penyayang, seorang teman, seorang pengagum, menginginkan kedekatan secara fisik dan pemandangan atas objek yang dicintai. Objek cinta yang dimaksud adalah objek seksual, atau cinta dalam artian pilihan pasangan seks. Singkatnya teori freud mengatakan bahwa seks dan cinta adalah subtansi yang sama.  Freud berasumsi bahwa seks meliputi cinta, kehalusan budi, kemurahan hati dan simpati. Dalam psikoanalisisnya, mangatakan bahwa cinta adalah seks yang terhambat tujuan seksualnya. Ketika seseorang mencintai lawan jenisnya maka itu merupakan bentuk seks yang terhambat, cinta hanya bentuk lain dari seks. Kemudian ketika hubungan cinta tersebut telah mencapai tingkat keintiman dalam artian menikah, maka ekspresi cinta yang paling mungkin adalah hubungan seksual yang merupakan tujuan yang terhambat tadi. Disini cinta sekedar bermakna seks.

Sedangkan Theodore Reik, berpendapat lain. Dia berpandapat bahwa cinta bukan sekedar seks, kunci perbedaan antara cinta dan seks ditemukan dalam fakta bahawa gairah seks sebenarnya tidak memiliki objek, sementara cinta adalah hubungan emosional “aku dan kamu”. Kalau aku analogikan, Cinta dan Seks, bagaikan kopi susu (sorry, masih sekitar kopi ya? hehe), minuman yang terdiri dari dua zat yang berbeda kopi dan susu yang akan menjadi kabur warnanya jika kedua zat tersebut dicampur jadi satu begitu pula dengan Cinta dan seks akan menjadi kabur ketika keduanya bersinergi. Namun kedua zat itu akan tetap berbeda walaupun dicampur menjadi satu. Kopi tetaplah kopi dan susu tetaplah susu. Begitu pula dengan cinta dan seks, keduanya merupakan dua hal yang berbeda.  Seks adalah kebutuhan insting, kebutuhan biologis, bermula di dalam organisme dan berukat pada tubuh. Seks adalah salah satu dorongan hebat, seperti rasa lapar dan haus, dikondisikan oleh perubahan-perubahan kimiawi dalam organisme. Seks bisa di tempatkan pada alat-alat dan zona-zona erogen lainya. Tujuan gairah seks adalah penghilangan ketegangan fisik, pembebasan dan pelepasan. Lalu apa tujuan gairah cinta adalah penghilangan ketegangan fisik, kelegaan. Keduanya memiliki perbedaan. Seks menginginkan kepuasan, sedangkan cinta menghendaki kegembiraan. Seks muncul sebagai fenomena alam, umumnya terjadi pada manusia dan hewan. Seperti yang cerita kera di atas yang melakukan hubungan seksual pada musim kawin. sedangkan Cinta adalah hasil dari perkembangan kebudayaan yang tidak semua mahluk mengalaminya. Cinta hanya dialami oleh manusia yang memiliki akal dan pikiran untuk suatu perasaan.

Dapatkah anda bersumpah bahwa hubungan seks itu bersifat abadi? Saya jamin anda tidak akan berani. Karena Objek seks bisa jadi membosankan setelah kepuasan diraih dan ketegangan berkurang atau objek seks tidak lagi bisa memenuhi hasrat seksualnya. Seperti kasus perselingkuhan karena pasangannya sudah tidak produktif untuk melakukan aktivitas seksual. Seorang suami akan mencari pelampiasan birahi kepada wanita lain ketika dirasa istrinya sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan seksualnya atau sebaliknya. Tapi tidak demikian dengan objek cinta, objek cinta selalu dilihat sebagai suatu kepribadian. Cinta tidak mempedulikan ketika pasanganya sudah tidak produktif lagi dalam aktifitas seksual. Seorang istri yang mendasari hubungan atas dasar cinta tidak akan peduli sama sekali ketika suaminya mengalami impotensi sekalipun. Seks bersifat sederhana dan tidak diskriminatif, seks bisa memilih siapa saja untuk menjadi pasangan seksualnya. Pasangan seks bisa berganti-ganti yang penting nafsu birahinya tersalurkan. Sedangkan cinta selalu membuat pilihan dan sangat diskriminatif. Cinta tidak sembarangan memilih pasangan cintanya. Seseorang tidak bisa sembarangan jatuh cinta kepada siapa saja, namun hanya dengan orang pilihan yang sulit tergantikan. Seks adalah kepentingan yang bernafsu kepada orang lain. Seks tidak akan sakit ketika objeknya teluka, tidak pula merasa bahagia ketika objeknya merasa senang. Dimungkinkan bagi seorang untuk memiliki orang lain dalam seks, tapi tidak dalam cinta. orang bisa memaksa orang lain untuk terlibat dalam hubungan seks tapi tidak demikian dengan cinta.

Begitu pula ketika aku pernah bertanya kepada beberapa temanku untuk sekedar riset kecil-kecilan tentang seks dan cinta. Dari temanku yang taat beragama sampai yang berandalan, dari yang penjual pulsa sampai yang jaga warnet, dari yang tidak lulus sekolah sampai yang sarjana, dari temanku yang belum pernah pacaran sampai yang puluhan kali gonta-ganti pacar, dari yang masih pacaran sampai yang sudah menikah, semua memberikan jawaban yang juga sama seperti yang dikemukakan oleh kedua pemikiran tersebut. yaitu dapat disimpulkan bahwa salah satu ekspresi cinta adalah seks, Seks dalam bentuk hubungan badani seperti berpelukan, ciuman, cumbuan, ML dll, bisa dikatakan merupakan dorongan seks yang hanya merupakan sebagian dari perasaan seorang pecinta, bentuk dari ekspresi cinta yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tetapi cinta dan seks itu berbeda. Hubungan yang didasari dengan cinta akan bersifat abadi karena cinta lebih bersifat hubungan batin antara “aku dan kamu” walaupun tanpa seks. Sedangkan hubungan yang didasari lantaran seks  tidak akan bersifat abadi. Karena seks hanya barsifat sementara, kepuasan yang diinginkan didapat kemudiaan berlalu begitu saja, berpindah ke lain pasangan. Cinta berbeda dengan seks dan bukan berarti sekedar seks.

“Mas aplous!!” suara peringatan dari ibu yang jaga warung, membuyarkan imajinasiku. sebuah kata yang menunjukan bahwa ibu itu ganti sip jaga dengan rekanya dan berarti kami harus segera membayar kopi. Cairan hitam dalam gelas yang sedari tadi ku nikmati bersama kepulan asap rokok sudah berada pada titik dasar gelas, alias kopi sudah habis. Ya, lumayanlah cangkrukan di warkop gang Dolly sambil memperhatikan aktivitas sosial, bisa menghilangkan kesuntukan dan kejenuhan. Aku dan temankupun memutuskan untuk balik pulang.

#Semoga tulisan ini bermanfaat dan memberi inspirasi. Sampai jumpa pada DIARY SOSIAL berikutnya.. ^.^V 


The Woriorr Princess (Chapter V)

Cerita ini diadopsi dari kuliah lapangan Sosiologi Kemiskinan. cerita seorang perempuan perkasa, yang bekerja sebagai tukang rombeng, mengarungi hidup dalam kemelut kemiskinan di perkotaan. Terangkum dalam bentuk laporan novel "Catatan Dari Sudut Perkampungan Kota Surabaya" Pada Chapter V.
By : Puu

Pagi hari yang dingin, setelah hujan yang turun tengah malam tadi. Aku sebenarnya masih malas untuk bangun. Akan tetapi aku harus tahu diri bahwa aku sedang berada di rumah orang. Rumah keluarga miskin yang sedang aku singgahi untuk riset, sehingga membuatku tidak enak hati jika masih tertidur. Pak Muslich terlihat mempersiapkan keperluan David untuk ke sekolah. Sedangkan Debby sudah siap dengan seragam sekolah, perpaduan warna cokelat muda pada bagian atas, dan cokelat tua pada bagian bawah. Mirip seragam Satpol PP wanita, namun bukan baret yang ia kenakan tapi jilbab minang yang membungkus rapat kepalanya kecuali bagian muka. Pada lengan kirinya terdapat simbol balok merah tingkat Ramu, sedangkan lengan kirinya tertempel lambang Jawa Timur. Kemudian dada kirinya terdapat sebuah kotak kecil warna ungu lambang Pandu Dunia, dan dada kirinya terdapat segitiga cokelat yang bergambar tunas kelapa. Serangkaian badge yang tertempel pada seragam, yang menunjukan bahwa ia adalah anggota Pramuka level Golongan Penggalang. Keanggotaan gerakan Pramuka yang disandang semua siswa setingkat SMP. Sebuah gerakan pembentukan kedisiplinan anak bangsa yang diragukan oleh anggota DPR RI. Sehingga memerlukan mereka untuk repot-repot kunjungan ke negerinya Nelson Mandela, hanya sekedar belajar Pramuka. Konyol memang, belajar Pramuka di negeri yang terdapat garis pemisah antara si-hitam dan si-putih. Dulu si-putih menguasai si-hitam dan sekarang sebaliknya si-hitam menguasai si-putih. Tak perlu repot-repot pergi ke Afrika Selatan, Semua anggota Pramuka Indonesia juga fasih tentang Dasadarma Pramuka, baris berbaris, salam pramuka, morse, tali temali atau sekedar mengadakan Jambore. Harusnya anggota DPR RI itulah yang harus belajar desiplin pribadi agar tidak bolos waktu sidang. Akan lebih baik kalau uang negara yang mereka gunakan pelesiran dipakai untuk mengentaskan kemiskinan disini, di tempat orang-orang miskin yang sedang aku teliti ini.

Pak Muslich terlihat mengambil seonggok kayu kearah dapur. Mungkin saja untuk keperluan mak Ti yang sedang memasak di dapur. Jam delapan nanti rencananya mereka berangkat mencari rombeng. Sambil menunggu aku menikmati pagi yang dingin, duduk disebatang bangku yang berada kayu di sisi gang kismin. Melihat serangkaian kegiatan pagi hari warga gang kismin dengan tanah yang masih terlihat sendu oleh sisa-sia air hujan semalam. Seorang lelaki muda menghampiriku, tetangga pak Muslich. Setelah berbincang beberapa saat aku mengetahui biografi singkatnya. Dia bernama mas Eko, berprofesi sebagai penjual nasi goreng keliling. Seorang perantauan dari Mojokerto yang tinggal di gang kismin ini bersama istri dan dua orang anaknya. Perantaun yang tertarik dengan hingar binger kota Surabaya. Tertarik dengan harga nasi goreng di jalanan Kota Surabaya bisa di jual lebih mahal dari pada di jalanan di desanya.

Mas Eko begitu ramah, bercerita tentang burung-burung peliharaanya yang sedang dijemurnya. Burung-burung yang harganya bisa ratusan ribu jika dirawat dengan baik. Ia bercerita tentang dirinya yang hampir sepuluh tahun mengeluti dunia kuliner sektor informal. Berjualan nasi goreng keliling jalanan Kota Surabaya. Aku-pun mendengarkan ceritanya dengan kidmat, dan sesekali bertanya. Ketika perbincangan memasuki tema tentang keluarga Pak Muslich, kekidmatan sebagai seorang pendengar semakin taat. Mas Eko sudah bertetangga dengan keluarga tukang rombeng tersebut selama sepuluh tahun lebih, walaupun ia tak kunjung juga mengajukan permohonan untuk menjadi warga Dukuh Karangan. Mas Eko bercerita tentang anak-anak pasangan suami istri tukang rombeng tersebut, cerita basi yang sudah aku dengar dari Mak Ti sendiri tempo hari. Namun mataku membelalak, ketika mendengar informasi ter-up date dari mas Eko selanjutnya. Ternyata tulang punggung pada keluarga tukang rombeng ini bukanlah Pak Muslich akan tetapi Mak Ti. Sebuah informasi yang mematahkan anggapanku selama berada dalam keluarga ini. Aku menyangka Pak Muslich adalah tulang punggung keluarga yang bekerja di bantu oleh istrinya untuk meringankan beban keluarga. Ternyata dugaanku berbalik tiga ratus enam puluh derajat lebih setengah.

Pak Muslich yang sejak awal aku sangka sebagai lelaki krempeng namun perkasa dalam menafkahi keluarganya ternyata tidak lebih dari seorang pria yang menggantungkan hidup pada istrinya. Pak muslich dulunya malas bekerja, kerjaanya hanya tidur melulu. Hanya dua tahun terakhir ini saja dia ikut membantu pekerjaan istrinya. Kebenaran informasi dari mas Eko tersebut aku buktikan dengan sederet pertanyaanku tempo hari. Pertanyaan hati yang terjawab. Pertanyaan hatiku, pertanyaan-pertanyaan tentang mak Ti yang nampak mendominasi dalam segala hal di keluarga ini, tentang  mak Ti yang mengusung tong-tong bekas kaleng cat ukuran besar setiap sore, mengambil air dari sumur tentangga untuk keperluan keluarga. Pertanyaan hatiku tentang mak Ti yang mengurusi segala administrasi keuangan jual beli rombeng ketika mereka bekerja.

 Mak Ti adalah Panglima keluarga miskin ini. Mak Ti yang memberi komando, yang menetukan mau diapakan keluarga ini. Seumpama sebuah negara, mak Ti yang menetukan perang atau tidaknya negara tersebut. Sehingga aku memberi julukan khusus kepada mak Ti  “The Princess Woriorr”. Sebuah julukan yang juga dimiliki Lucy Lawless ketika berperan sebagai Xena dalam serial film fiktif karya Rob Tapert yang berjudul “Xena Princess Woriorr”. Xena seorang kesatria perempuan yang bertualang di dunia mitologi yunani/romawi untuk mendapatkan ampunan dari dewa akan kekejamanya sebagai panglima perang di masa lampau. Bersenjatakan kelincahan, keahlian bermain pedang dan tentu saja senjata spesialnya Chakram. sebuah senjata lempar berbentuk gelang besi yang mampu kembali ke pemiliknya bak bumerang. Mak Ti aku sejajarkan dengan Xena, sama-sama kesatria perempuan. Mak Ti bersenjatakan kelincahan mencari barang rombeng dari rumah ke rumah, keahlianya memberi harga pada barang rombeng, yang tahu pasti kapan harus mengambil untung banyak dan kapan harus mengambil untung sedikit, tentu saja tidak ketingalan senjata spesialnya timbangan lantai, yang menetukan berat barang rombeng dengan uang yang harus ia keluarkan dan akan mendapat keuntungan berapa, tak ketinggalan si-Gerobak Civic Mugen RR (suatu nama keren dari mobil produksi Honda, yang kuberikan pada sebuah gerobak rombeng. hoho) yang setia meringankan beban mengankut barang-barang rombeng. Walaupun dari segi body, Mak Ti kalah jauh sama Xena. Xena kesatria wanita bertubuh sexy dengan dada yang montok membuncang tinggi, sedangkan mak Ti hanyalah perempuan krempeng, kurus kering dan tak terdapat secenti-pun daging pada dadanya. Namun mak Ti memiliki keunggulan yang jauh dari pada Xena. Mak Ti adalah seorang Ksatria perempuan pada dunia nyata, cerita kehidupan yang benar-benar terjadi, sedangkan Xena hanyalah ksatria perempuan fiktif, yang hanya ada dalam sebuah film hasil rekyasa, sekalipun cerita dalam film tersebut tidak pernah terjadi di alam nyata.

 Aku membayangkan bagaimana kondisi dua tahun silam, sawaktu Pak Muslich tidak membantu pekerjaan istrinya tersebut. Sewaktu sang suami malas-malasan, tentu mak Ti seorang diri berusah payah mencari barang rombeng keliling perumahan. Mendorong gerobak Civic Mugen RR dengan tubuhnya yang kerempeng seorang diri. Menyusuri perumahan dengan langkah kesepian tanpa ada anak maupun suami yang membantu. Sesuai dengan anggapanku semula, tentunya ia adalah seorang yang sabar. Yang menerima keluarganya apa adanya, kalau tidak tentunya sudah cerai pasangan suami istri tukang rombeng ini. Istri yang mana yang akan setabah dan sesetia dengan suaminya yang malas bekerja, anak-anaknya yang tak bisa diandalkan, keluarga yang hidup dalam garis kemiskinan seperti ini.

Mak Ti,.. secara khusus aku angkat topi untuk perempuan penyabar penyayang ini. Aku Semakin menaruh simpati yang besar kepadanya. Hingga perempuan ini tidak sekedar aku samakan dengan sosok ksatria perempuan fiktif lagi, namun kini aku  juga akan mensejajarkanya dengan tokoh ksatria perempuan dalam cerita nyata. Aku samakan Mak Ti dengan Opha M. Johnson. Seorang sosok perempuan pertama di dalam kesatuan Korps marinir Angkatan laut Amerika serikat yang ikut berperang langsung dengan tentara Jepang. di saat wanita lainya hanya mendapatkan tugas sebagai juru masak dan juru cuci marinir, ia justru mendapatkan tugas sebagai pengatur serangan laut angkatan Laut marinir Amerika serikat di Perang dunia ke-II. Begitu juga mak Ti, disaat suaminya sebagai kepala keluarga tak bisa diandalkan, ketika anak-anaknya yang sudah besar tidak bisa di harapkan dan pada posisi seperti ini kebanyakan wanita memilih bercerai dengan suaminya, justru makti tetap setia mempertahankan keluarga ini. Ia rela maju ke medan pekerjaan sebagai tukang rombeng. Seorang diri membanting tulang untuk menafkai kelurganya seorang diri.

Semula aku kira sistem Patriarki masih melekat kuat pada keluarga ini. Keluarga Jawa yang mengambarkan Seorang istri yang tunduk patuh atas kepemimpinan suami. Suami dengan gaya kepemimpinan yang menganut Hastha Brata. Kepemimpinan khas manusia Jawa dengan pengaruh feodalistik yang kuat. Sosok pemimpin yang memerintah, berinisiatif, imam yang taat, melindungi, bijaksana, membimbing, mendidik dan menerima keluhan. Suami yang memegang kendali pada keluarga. Atas apa yang harus dilakukan anggota keluarga. Suami yang menanggung nafkah untuk menghidupi keluarga, sedangkan istri hanya sebagai konco wingkeng yang mana Perempuan hanya berada di sektor domestik. yang menanggung tugas 3M (Macak/berdandan, Masak/memasak, dan Manak/melahirkan) atau 3-ur (Sumur, dapur, dan kasur ). Namun semua itu terbantahkan di keluarga ini. Keluarga miskin yang beranggotakan delapan orang dengan seorang istri sebagai Pemimpin.

Berjayalah gerakan feminisme disini. Menanglah pemikiran yang menuntut kesetaraan gender bagi kaum perempuan tersebut. Gerakan yang melihat posisi perempuan yang tidak mendapatkan keadilan dari kaum laki-laki. Perempuan selalu berada pada posisi di bawah laki-laki tidak hanya sewaktu berhubungan seks saja, tetapi juga dalam hal peran.perempuan selalu dianggap kurang tetap jika ditempatkan pada posisi utama. Perempuan selalu berada dalam control laki-laki. sehingga gerakan ini mempelopori untuk merubah ketidakadilan terhadap kaum perempuan tersebut. Andai saja para pelopor gerakan feminisme itu ada disini, tentunya mereka akan girang melihat Mak Ti. Seorang perempuan tukang rombeng yang mengerti makna kesetraan gender. Perempuan krempeng yang tidak pernah mengeyam bangku kuliah, tidak mengenal istilah feminisme, tidak pernah tahu apa itu ketimpangan gender. Jika mengetahui sekalipun dia akan sulit mengucapkan kata dalam ejaan asing yang berbunyi “feminisme” tersebut. karena untuk mengucapkan kalimat salam dalam dalam bahasa Indonesia “selamat pagi’ itupun masih medok dan belepotan. Namun mengerti makna dari istilah-istilah tersebut. Seorang perempuan yang dapat menyamakan dirinya setara dengan kaum laki-laki tanpa harus meniggalkan takdirnya sebagai seorang perempuan. Jika saja ada “feminisme award”, maka dia bisa masuk nominasi penghargaan tersebut.

Mak Ti, The Worrior Princess yang berjuang menghidupi keluarganya dalam kemiskinan. Perempuan yang bekerja pada sektor publik. Pernah suatu hari ia bercerita, bahwa dulunya sebelum ia bekerja sebagai tukang rombeng. Yaitu sewaktu masih lajang, ia adalah seorang petani yang menggarap lahan pertanian milik orang tuanya. Suatu pekerjaan yang menjadikan dirinya tuan bagi dirinya sendiri. Tak perlu ia menunggu perintah dari majikan. Tak perlu ia mengantri didepan mandor untuk menerima upah kerja. Ia pun bebas kapan harus mengarap tanahnya dan kapan harus beristirahat tidak menggarap tanahnya. Tidak ada yang memerintahnya, menyuruhnya ini itu. Ia manusia bebas yang bisa berbuat apa saja tanpa aturan sang tuan. Ia adalah tuan bagi dirinya sendiri.
Hingga suatu ketika bersamaan semakin semaraknya Kota Surabaya, semakin melebarnya wilayah pemungkiman di kota ini, datanglah para konglomerat para investor dan pemborong. Gerombolan pebisnis properti ini hendak membeli sawah mak Ti dan sawah-sawah lainya milik tetangganya. Entah bagaimana bujuk rayu mereka, hingga akhirnya para petani menyanggupi untuk menjual sawah mereka kepada gerombolan pebisnis properti tersebut. Mak Ti yang melihat para petani lain menjual sawahnya, tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan sawah milik keluarganya tersebut. Jika mak Ti tetap mempertahankan maka dia akan menjadi Petani yang kesepian  mengarap sawahnya yang tidak produktif karena banguan-bangunan yang mengitarinya,  akan menjadi seorang petani seorang diri karena sawah-sawah lain disampinya sudah dijual dengan harga yang menurut petani sangat tinggi, tetapi menurut segrombolan pebisnis properti tersebut merupakan harga yang rendah, harga sepele yang bisa menghidupi keluarga mereka tujuh turunan. Dan jika harus menjualnya-pun, dia tidak tahu harus bekerja apa. Selama itu keahlianya adalah bertani, Jika harus menjadi petani lagi, ia harus membeli sawah yang lokasinya jauh dari rumahnya dan dengan harga mahal. Akhirnya si-petani Miati terpaksa menjual tanahnya.
Ketika sawah-sawah mereka sudah di tanami rumah-rumah eksklusif dengan gapura-gapura perumahan yang di jaga satpam. Tertata rapi dengan Jalan-jalan aspal dan paving. Taman-taman bermain untuk anak-anak, lapangan basket dan taman-taman yang indah disepanjang jalan perumahan. Perumahan yang berdiri di atas tanah bekas persawahan. Para petani yang dulunya hidup dari hasil bumi yang di tanam di atas tanah-tanah perumahan tersebut, gini hanyalah orang-orang yang bingung tak punya pekerjaan. Akhirnya mereka-pun harus bekerja pada tuan-tuan yang tinggal di perumahan tersebut. Tanah perumahan yang dulu pernah menjadikan para petani menjadi tuan bagi dirinya sendiri, kini harus berbalik menjadi jongos di atas tanah-tanah tersebut. Istri-istri menjadi babu dan suami-suami menjadi tukang kebun. Sedangkan mak Ti sendiri dengan jumawanya menolak untuk menjadi babu. Baginya menjadi babu hanya pekerjaan yang menjengkelkan, diperintah sekenanya. Hanya memjadi manusia pesuruh yang tak bisa bebas berbuat sesukanya. Mak Ti lebih memilih menjadi tukang rombeng, walau miskin sekalipun. Karena dia bisa menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Bebas berkehendak pada dirinya sendiri tanpa harus mengharap belas kasihan majikan. Dia menjadi tuan bagi dirinya sendiri dengan mencari barang-barang rombeng di perumahan bekas sawahnya dulu. Dia tetap menjadi tuan bagi dirinya di tanah tersebut. Walaupun hanya sebagai tukang rombeng miskin, namun baginya bekerja secara mandiri lebih baik dari pada bekerja pada orang lain.
Perempuan yang berpendirian teguh. Perempuan miskin yang tak bermental babu. Perempuan miskin yang lebih bangga menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Dengan tubuhnya yang krempeng, menjadi tukang rombeng tanpa majikan, tanpa ada yang memerintahnya. Bebas tanpa kungkungan sang tuan. Ia tak mau ternista dalam kemiskinan dengan menjadi jongos orang kaya. Ia merasa terhormat mandiri dalam kemiskinannya. tak mau ternista seperti perempuan-perempuan yang di-import menjadi babu dan ternistakan di negeri orang. Babu-babu import dengan upah rendah, dapat diperlakukan sesuka majikanya, disiksa, diperkosa hingga dibunuh bagai binatang yang hina bina. Ya, mak Ti seakan mementahkan setereotif tersebut dengan semboyann “hujan batu dinegeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas dinegeri orang”. Ia ingin mementahkan stereotif terhadap bangsa ini sebagai “bangsa yang semenjak dulu bermental kuli dan babu”. Semenjak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara yang berwatak feodalistik, zaman kolonial yang menempatkan pribumi sebagai binatang yang menempati kelas paling hina di antara bangsa-bangsa lain. Bangsa yang sarjana-sarjananya lebih mengejar mimpi sebagai pegawai abdi Pamong Praja yang hidup di balik ketiak pemerintah, dari pada menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. bangsa yang guru-gurunya lebih banyak berceramah dari pada berdiskusi dengan muridnya. Bangsa yang pemimpin-pemimpinya tanpa malu masuk keluar penjara. Memakan uang rakyat sekenyang perutnya.

The Warrior Princess yang tangguh dalam kemelut kemiskinan. Terlahir dari keluarga petani miskin empat puluh enam tahun silam. Dan masih miskin hingga sekarang. Perempuan polos, yang tak mengerti ejaan kata feminisme, tak mengerti kesetaraan gender, tak mengerti kalau Krisdayanti bercerai dengan Anang lantaran selingkuh dengan Raul Lemos, tak mengerti kenapa Ayu Azhari kawin cerai berulang kali, suatu trend kawin cerai artis yang katanya wujud kesetaraan gender. Namun dengan ketegaranya, kemandirianya, ketanguhanya, mak Ti dalam pandanganku merupakan wanita  yang memahami arti lebih dalam tentang feminisme. Memahami makna kesetaraan gender tanpa harus meninggalkan suami dan anak-anaknya, tanpa harus mengingkari takdirnya sebagai perempuan. Perempuan lembut dan penyayang yang tetap mempertahankan keluarganya yang tak bisa diandalkan. Baginya itu sudah menjadi pilihan hidupnya dengan resiko bekerja keras untuk tanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Pilihan pada suami dan anak-anak yang tak bisa diandalkan.  Perempuan yang patah hati, dikecewakan oleh keluarganya dan membalas kepatah hatinya dengan balutan kasih sayang pada keluarganya.

Aku masih hanyut dalam cerita-cerita mas Eko. Lelaki tukang nasi goreng keliling ini telah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hati-ku. Pertanyaan tentang anak-anaknya yang tidak sudi menjamah barang-barang rombeng, tentang mak Ti yang setiap pagi dan sore membiarkan tubuh krempengnya di goncang tong-tong bekas kaleng cat ukuran besar berisi air. Mengurusi pembayaran barang-barang rombeng. Merasakan keprihatinan terhadap anak-anak yang dilahirkanya. Tapi kenapa mak Ti tidak pernah bercerita tentang pak Muslich. Kalau dibilang takut, tidak mungkin. Karena mak Ti merupakan panglima pada keluarga miskin ini. Pak Muslich-pun dalam cerita mas Eko juga tidak sedikit-pun tergambar sosok lelaki yang jahat. Dia hanya malas bekerja. Dari hasil pengamatanku-pun pak Muslich tidak sedikitpun menunjukan sosok yang keras. Dia tergambar sebagai lelaki yang ramah, sesekali memang aku lihat dia tak pernah berbicara dengan nada memerintah, atau mengguruhi mak Ti. Ia terlihat mengikuti mak Ti walau awalnya aku sangka itu merupakan sikap ramah suami terhadap istri. Yang sekarang aku ketahui bahwa Pak Muslich tidak sehebat mak Ti dalam memimpin keluarga. Pak Muslich tetap dihargai mak Ti sebagai seorang suami walaupun ia tak mampu memimpin. Mungkin itulah yang membuat mak Ti tidak bercerita banyak tentang suaminya. Dan mungkin juga pak Muslich sudah berubah, sudah bukan lelaki pemalas seperti dua tahun silam. Walau sekarang harus belajar banyak pada mak Ti untuk sama-sama memimpin keluarga.     


*****************

Yth. Abah dan Umi. (Satu Cerpen Multikulturalisme

Surabaya, 25 Maret 2011. Pukul 02.51 WIB.
By: Puu_

*Cerita ini adalah satu dari realita sosial yang ada dalam masyarakat Multikultur. Tidak bermaksud menyinggung salah satu dari kultur yang ada. Tak bermaksud pula untuk mencari satu pembenaran. Jika ada kesamaan nama, tempat, tokoh bukanlah suatu kesengajaan. Mohon dimaafkan. ^.^V

Rintik gerimis sahdu, menderu pelan di atas mobilku yang merapat sayu di sisi trotoar. Aku menunggu Lani di depan Gereja Santa Ana. Gereja Katolik berarsitektur spanyol. Patung lelaki berjenggot tebal berdiri agung di atas beranda gereja, basah kuyub oleh percikan gerimis. Lani menyebut lelaki itu dengan nama Yesus Kristus, sedangkan aku menyebutnya Isa Al masih, al-Masih al-Isra’ili bin Maryam. Ia hadir dalam kitab suciku dan ia juga hadir dalam kitab suci Lani. Pria dari Nazaret itu dahulu mengorbankan jiwa raganya di bukit Gorgota demi manusia, begitu tutur Lani yang meyakini lelaki itu sebagai Tuhan. Sedangkan aku menyakini pria itu sebagai Nabi utusan Tuhan. Ya, suatu perbedaan transenden dalam hubungan cinta kami.

Francisca Meilani, gadis katolik yang telah mematri hatiku pada batang salib cintanya. Merentangkanya dalam buaian asmara yang mengoda. Yang membuatku terpaku  untuk tidak meninggalkanya. Menderaku dengan siksaan rindu dan menancapkan mahkota duri-duri cemburu kala tak bertemu. Gadis sederhana dengan berjuta pesona. Pesona dalam teguhnya satu komitmen dalam dua perbedaan yang dalam. Kurasakan ruh keselarasan dalam harmoni perbedaan. Ruh yang menghidupkan satu kebersamaan, ruh yang menjiwai satu tujuan satu kasih. Ruh yang akan tetap melangkahkan dua hati dalam satu jiwa.

Wipper di kaca depan mobilku menyapu pelan, terus berusaha menyingkirkan bintik-bintik gerimis yang memburamkan bening kaca. Bergerak beriring kearah horizontal dan vertikal, seperti gerak syaraf otakku yang terus berusaha menyapu kegelisahan hati. Kegelisahan tentang rencana pernikahanku dan Lani, rencana masa depan dengan satu jurang perbedaan yang dalam. Sudah hampir tiga tahun kami berpacaran, perbedaan itu tidak pernah mengusik jalinan cinta kami. Karena saling mengerti dan memahami keyakinan masing-masing. Lani gadis Katolik yang taat, tak pernah sedikitpun aku memintanya untuk mengganti keyakinannya untuk sama dengan keyakinanku. Begitu juga Lani yang tetap menghargai keyakinanku. Setelah sekian lama berpacaran kami memantapkan hati untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Satu moment sakral yang dinanti-nanti dalam cerita cinta dua anak manusia.

Walau kami sudah memiliki tekad bulat yang satu. Namun colective consainess tak selamanya sejalan dengan keinginan individu. Dalam agamaku dan agamanya tak ada celah untuk membangun jembatan yang menghubungkan cinta dalam perbedaan keyakinan. Jembatan indah yang menghubungkan antara dua hamparan benua hati yang terpisahkan oleh luas dan dalamnya samudara keyakinan. Apalagi hukum negeri ini. Hukum negeri ini hanya melegalkan suatu perkawinan hanya dengan cara satu agama saja. Setelah menemui jalan buntu dari sisi agamaku. Agamaku hanya mengizinkan jika Lani menjadi mualaf. Namun aku tidak setuju. Karena jika toh nanti Lani masuk Islam, itu bukan dari keyakinanya. Karena aku tahu betul tingkat keimanan Katoliknya. Lani berusaha mencari cara dalam cara agamanya. Berdiskusi dengan Pastor di Paroki untuk meminta dispensasi. Agama dengan segala eklusifitas hukumnya tak bisa di ganggu gugat. Mempertanyakan hukum agama berarti kafir dengan sederet ancaman dosa. Entah mengapa, jikalaupun kita berkeyakinan dengan tulus adanya Tuhan, tentunya kita tidak perlu lagi memikirkan ancaman neraka, dosa, siksa alam baka. Kita ikhlas dengan Tuhan tanpa adanya janji surga dan neraka. Yang terpikir adalah segala tindakan kita menuju ke muara kebaikan. Ketakutan kita hanya satu perbuatan kejahatan berarti menghianati Tuhan. Salahkah aku jika hendak mempersunting gadis lain keyakinan? Jahatkah aku jika kelak hendak beristri gadis lain keyakinan?

Lani terlihat berjalan tenang dari pintu gereja. Berjalan lentik, anggun mempesona. Perpaduan rok putih berenda bawah lutut dengan atasan batik corak halus, memperindah gerakan tubuhnya yang langsing. Rambut bleaching tipis yang dibiarkan terurai, dengan agak blonde yang menggantung pada ujung-ujungnya. Style feminim khas Lani, oh gadisku. tak bisa aku pungkiri, Sebagai manusia lelaki dengan segala sifat kemanusiaanku, aku mengagumi fisiknya yang indah, namun bukan itu yang utama, karena fisik bisalah berubah mengikuti hukum waktu. Segar bisa menjadi layu, muda pada akhirnya menjadi tua. Aku mencintai Lani dengan ketulusan, atas rasa ikhlasnya yang tetap teguh mempertahankan cinta dalam perbedaan diantara kami. Keihlasanya mencintaiku menjadi kunci bertahanya cinta ini. Matanya yang belo’ menyisir jalanan depan gereja mencari keberadaanku. Aku lekas membuka kaca mobil dan melambaikan tangan kepadanya. Disambutnya aku dengan dengan senyuman manis, terlihat jelas pesonanya diantara gerimis yang tercecer menyejukan. Dalam gerimis tipis ia berlari kearahku, agak tergopoh membuka pintu dan masuk ke dalam mobil menghindari keroyokan partikel-partikel air.

Aku memandanginya pelan dengan gesture tak sabar untuk segera mengetahui hasil diskusinya dengan pastur.

“Gimana sayang, hasil diskusi dengan Romo tadi?”.tanyaku sembari menyodorkan handuk kecil kepadanya.

Lani mengusap bintik-bintik air di mukanya yang halus, tersenyum gembira bercampur resah. Resah jika aku tak sepakat denganya. ia menjelaskan hasil diskusinya dengan pastur. Ia menuturkan bahwa dalam katolik Perkawinan beda agama bukanlah hal yang ideal, harus ada izin Uskup kalau seorang Katolik ingin menikah dengan orang yang beda agama. selain itu masih harus memenuhi syarat, yaitu  Perkawinan dilakukan secara Katolik, Lani harus tetap mempertahankan iman katoliknya, dan kami harus sepakat bahwa anak-anak kami kelak akan diBaptis secara Katolik dan dididik dalam iman Katolik, dan Lani sebagai pihak Katolik harus bersedia berupaya sebisanya untuk ini.

Alhamdullah sedikit titik terang terlihat. Ada celah untuk kami mewujudkan impian pernikahan. Aku menyanggupi syarat pertama dan kedua. Bukan,.. bukan lantaran aku menghalakan segala cara untuk mencapai keinginan. Namun hanya inilah jalan satu-satunya untuk melegalkan pernikahan kami. Aku pun tidak hendak keluar dari keyakinanku. Aku tetap teguh dalam keyakinanku, begitu juga Lani. Jikalapun pernikahan ini bakal berlangsung diluar keyakinanku, bukan berarti aku mengingkari keyakinanku. Kurasa Tuhan maha mengetahui. Aku tetap percaya satu, Tuhanku yang juga Tuhannya Lani. Hanya kendaraan kami menuju Tuhan yang berbeda. Tentang syarat yang ketiga. Kami sepakat kelak akan memberikan kebebasan kepada anak-anak kami untuk memilih jalanya sendiri dalam bimbingan kami. Bukan pula Lani hendak mengkari janjinya pada gereja. Namun itu hanya pernyataan dalam kesaksian. Dan jika melanggar itu adalah urusan moral dengan gereja. Hanya Tuhan yang maha mengetahui, Karena keyakinan bukanlah suatu warisan, namun tumbuh kembang dari hati nurani.

Binar bahagia belumlah terang terwujud. Tantangan selanjutnya yang harus kami lewati adalah orang tua kami. Manusia-manusia mulia yang tulus ikhlas merawat, mendidik dan membesarkan kami. Mahluk Tuhan yang mengemban titah sebagai alat untuk memproduksi daging-daging bernyawa yang disebut manusia. Daging-daging bernyawa yang menjalankan tugas sebagai punghuni alam raya. Sebagai kalifah Tuhan yang berkuasa atas mayapada. Orang tua kami masing-masing selama ini hanya mengetahui kalau hubungan ini hanya sekedar teman biasa. Lantaran perbedaan keyakinan, kami tak memberitahukan bahwa kami adalah sepasang kekasih. Namun kini sudah tiba saatnya untuk aku dan Lani berterus terang pada orang tua kami masing-masing.

******************
Malam selepas isya’, Abah terlihat duduk santai di sofa ruang tamu, membelakangi pigura kaca bergambar kota suci Mekah,  tenunan karpet Turki berbentuk ka’bah dan masjidil Haram yang dipenuhi manusia-manusia yang sedang menyempurnakan imanya. Dengan deretan kaligrafi dari ayat kursi sampai surat Al Fatihah yang mengitari dinding ruangan. Raut wajah tuanya terlihat cerah oleh bekas air wudlu sholat isya. Berbaju koko dengan peci haji yang serupa dengan uban yang mulai memenuhi rambutnya. Tangan kirinya memegang satu kitab bercover ukiran corak arab, dengan tulisan arab yang berlafal ushul fikih al-Syafii. Memilah-milah halaman demi halaman untuk dibacanya. Ia seorang muslim yang taat. Terus memperdalam kitab-kitab pengetahuan ilmu agama. Bahkan namaku pun di ambil dari bahasa arab, Rijal Ar Rafi, yang konon artinya Lelaki yang memuliakan. Dari nama itu Mungkin ia berharap anak lelakinya ini, sebagai orang yang selalu memuliakan/menghargai orang lain. Dulu sewaktu kecil aku memanggilnya Ayah dan setelah naik haji, ia lebih suka untuk dipanggil abah. Semenjak itu, ia semakin gandrung dengan kultur arab. Sampai-sampai arsitektur pintu rumah di rubah menjadi pelengkung mirip kubah masjid. Ia tak lagi suka mendengarkan musik campursari  dan berganti gandrung dengan musik sholawat dan gambus. Ia Nampak menemukan suasana batin yang mempertebal keimananya dalam Islam. Kendaraan menuju Tuhan yang dinahkodai oleh seorang pria Arab bernama Muhammad. Nahkoda yang kuagungkan sebagai manusia mulia dengan segenap sifat kemanusiaanya.

Aku menghampiri abah dengan langkah gugup. Ku tindas rasa gugupku dengan memberi salam dan mencium taksim tangannya.  Ia meletakkan kitab di tanganya ke atas meja. Menyeka muka dengan dua telapak tangan, dengan suara pelan berdesis hamdallah. Ya, itulah abahku, muslim taat yang selalu mengawali aktivitas dengan opening basmallah dan  closing hamdallah. Muslim taat yang memaknai tingkah polahnya sebagai ibadah, dengan peranti pendukung segala sesuatu kultur dimana agamanya lahir. Dengan senyum penuh wibawa menyambutku, dilanjut dengan sederet perbincangan tentang, hal-hal aktual, aktivitas dan pekerjaanku. Aku sengaja lebih banyak membahas tentang isu-isu pergeseran kelompok-kelompok agama yang sering terjadi akhir-akhir ini. Ingin mengetahui kadar tanggapanya tentang perbedaan keyakinan. Dari konflik Ahmadiyah sampai terror bom. Ia menanggapi berbagai peristiwa itu dengan penuh rasa penyesalan. Penyesalan atas kekerasan-kekerasan yang seharusnya tak perlu dilakukan. Penyesalan atas ternodanya citra agamanya karena tindakan-tindakan tersebut. Abah memang seorang muslim fanatik akan islam dengan segala pirantinya, namun fanatik yang dibarengi rasa toleransi.

Dalam resah aku mencari celah dan kesempatan untuk menyampaikan niatku untuk mempersunting Meilani. Lebih tepatnya meminta restu.  Sampai pada akhirnya kutemukan jeda waktu yang tepat, setelah kurasa abah mulai asik dengan perbincangan ini. Sangat hati-hati dan sunguh-sungguh kesampaiakn niatku kepadanya. Dalam hati aku mengharap sangat, dari sifat toleransi beragamanya dari perbincangan pembuka tadi, berharap ia dapat memahami dan memberikan restu rencana pernikahanku dan Lani.

Setelah kusampaikan niatku. Suasana berubah menjadi beku. Ditariknya nafas dalam-dalam. Kurasakan mimik mukanya yang agak terkejut. Walau tak Nampak jelas. Sebentar ia memandangiku, menoleh dan menebar pandang ke dinding-dinding ruang tamu yang penuh hiasan kaligarfi. Mungkin ia menyadari dan berfikir bahwa putranya sengaja memperbincangkan masalah perbedaan keyakinan sejak awal, yang pada ujungnya bermuara pada permasalahan anak lelakinya tersebut. Permasalahan yang menyeret dirinya pada pergulatan batin. Kalau dalam perbincangan awal tadi posisinya hanya sebagai komentator, maka kini ia masuk sebagai salah satu aktor dalam lakon perbedaan keyakinan. Aktor yang tidak hanya mengomentari, tetapi langsung terlibat. Oh, maafkan aku abahku sayang…..

“Nak,…..” dengan suara berat ia memecah kebekuan diantara kami.kemudian melanjutkan ucapanya. “Sepenuh hati, abah menyadari adanya perbedaan. Sepenuh hati abah menjunjung toleransi, oleh karenanya abah tak pernah melarangmu bergaul dengan Lani”

Aku hanya terdiam dan berdebar mendengarkan satu-persatu ucapanya. Dan menunggu kelanjutan perkatanya.

“Abah tidak mempermasalahkan pergaulanmu dengan Lani, tapi hanya untuk ranah silahturahmi sesama manusia, bukan ranah tauhid, teologi. Kamu tahu nak, apa hukum pernikahan beda agama dalam agama kita?. Haram nak, haram.. kafir ingatlah itu”. Kini suara abahku berubah semakin meninggi.

“Maaf abah, bagaimana dengan surat al-Maidah ayat 5? Bukankah seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan ahlul kitab (non-muslim dalam lingkup agama samawi)”. Aku mencoba memberi dasar atas keputusan yang hendak aku jalani.

Bergegas ia menegakakan duduknya. “benar nak, tapi kau juga harus membaca surat Ali Imran ayat 113. Ahlul kitab yang bagaimana? itulah yang harus kamu ketahui. Lebih banyak mafsadatnya dari  pada maslahatnya”.

 Ia menambahkan, dan kini kata-katanya keluar dengan suara yang lebih tegas. “Renungkanlah nak!!!, mau jadi apa rumah tanggamu kelak, dengan perbedaan keyakinan? Mau jadi apa kau kelak? Mau jadi apa istrimu kelak? Mau jadi apa anak-anakmu kelak?. Kalian hanya akan jadi manusia-manusia yang tak berprinsip. Manusia-manuisia yang menanggalkan prinsip demi nafsu keduniawian. Manusia-manusia yang akan menjadikan keturunanku menjadi manusia tak berprinsip. Atau mungkin kau tak menganggap lelaki tua ini sebagai abahmu lagi?”.

Umi tergopoh menghampiri kami. Ia terlihat tergopoh dari ruang belakang, lantaran mendengar suara abah yang tak biasanya menjadi keras. Namun tak ada yang bisa ia perbuat untuk membelaku dari amukan kata-kata abah. Dari tempat duduknya abah segera berdiri, dan segera mengajak Umi meninggalkan ruang tamu. Umi sekilas memandangiku iba. Dua orang manusia yang telah membesarkanku itu Nampak kecewa dengan putranya. Anak lelaki yang selalu dinanti kehadiranya kala ia masih mendekam dalam rahim. Dididik dan dibesarkan dengan peluh dan kasih, kini melukai hati mereka. Tak kalah sengit, orang tua Lani. Ia seraya menangis menelponku,  “terang tak bisa bersatu dengan gelap”. Katanya menirukan perkataan orang tuanya.

***********************
Oh,.. Tuhan ampuni aku. Tak ada maksud aku menyakiti mereka. Tak sedikitpun tergores niat untuk mengecewakan mereka. Mengecewakan mereka kah jika aku hendak menunjukkan indahnya perbedaan?. Ya, Perbedaan agama, perbedaan yang menjadi sebab perang salib harus terjadi, perbedaan yang menjadi sebab serentetan peristiwa terror Bom di negeri ini, perbedaan yang menjadi sebab orang-orang berjubah dan sok suci petantang-petenteng, mengkafirkan kelompok lain. Memukul, menghantam dan dengan bringas ingin memusnahkan manusia-manusia yang dianggapnya kafir. Oh,.. bukan..bukan.. bukan lantaran agama semua itu terjadi, namun lantaran perebutan kekuasaan. Agama itu suci adanya, sakral adanya, namun akan menjadi kotor ketika sudah menjelma menjadi kekuasaan. Sumpah jabatan dibawah kitab suci-pun tak bisa menjadi patokan bagi penguasa untuk tidak lalim.

Aku tak sanggup membendung amarah abahku secara langsung. Tak sanggup aku mengeluarkan kata-kata yang menguatkan niatku di depan lelaki yang aku hormati itu. Sehingga Ku tulis sepucuk surat untuk Abah dan Umi.

Mail :
_____________________________________________________________

Yth. Abah dan Umi.

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Abah dan Umi sayang,…
Sembah sujud dan hormatku selalu meyertai,..

Abah Umi, sumpah demi Allah SWT, putramu masih teguh menyakininya sebagai Tuhan. Tuhan sekalian alam, yang maha pengasih dan penyayang. Tuhan bagi sekalian alam dengan Muhammad sebagai rasulnya yang tetap aku muliakan. Dengan tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat, putramu juga masih teguh menghargai Abah dan Umi sebagai orang tuanya. Sumpah demi Allah, tak sedikitpun terbesit keinginan untuk membuat abah dan umi kecewa.


Abah dan Umi, maafkan putramu ini jika hari ini tetap teguh pada pendirianya. Pendirian yang tak berkenan dihati abah dan umi. Pendirian untuk tetap teguh beristrikan Meilani. Meilani sigadis ahlul kitab. Janganlah anggap kami tak mengindahkan orang tua dan menghukum kami sebagai anak-anak durhaka. Namun, mengertilah, kami hendak menunjukan indahnya nada-nada dalam harmoni perbedaan. Bukankan abah dan umi sepenuh hati menghargai perbedaan berkeyakinan. Sama sekali kami tak mengutik-utik perihal teologi. Putramu masih setia pada keislamanya, begitu juga calon menantumu (jika abah dan umi tak berkeberatan menyebutnya demikian). Meilani gadis katolik yang taat, ia juga tetap setia pada keyakinanya pada Katolik. Tak sedikitpun ada niatan pada kami untuk mencampuradukan keyakinan untuk satu persamaan. Tak ada niat sedikitpun pada kami untuk saling membujuk untuk berpindah keyakinan. Yang kami yakini Tuhan hanya satu. Jika banyak orang berfaham demokratis mengatakan bahwa perbedaan agama layaknya pepatah “Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan juga menuju Tuhan”, namun bukan itu yang kami yakini. Yang kami yakini Tuhan itu satu, namun untuk menujunya dengan kendaraan yang berbeda-beda. Ibaratnya, kami hendak menuju pulau yang sama. namun kami menyebrangi lautan dengan perahu yang berbeda. Perahu yang berbeda tersebut bisa berjalan beriringan di atas lauatan yang luas. Perahu-perahu tersebut, adalah keyakinan kami. Walau berbeda kendaraan, namun kendaraan tersebut bisa berjalan beriring di atas lautan rumah tangga kami. Dan kami menuju pulau yang sama, yaitu Tuhan.

Abah dan Umi, kami bukan orang yang tak berprinsip lantaran hidup dalam perbedaan. Kami tetap memegang prinsip kami. Seorang cendekiawan pandai berbangsa Belanda, pernah mengkaji tentang watak manusia Jawa yang tak berprinsip dalam berkeyakinan. (Dalam novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya A.T). Manusia Jawa, yang awal mula berkeyakinan agama leluhur, berubah prinsip ketika agama Budha datang, budha bercampur kepercayaan leluhur. Kemudian berubah prinsip lagi lantaran datangnya Hindu, mempersatukan Budha dan Siwa dalam  satu kesamaan. Kemudian datanglah Islam merubah prinsip lagi, mengalkulturasikan Kepercayaan leluhur-Budha-Hindu-Islam, hingga jadilah Islam khas Jawa. Dan islam dominan dalam alkulturasi itu lantaran memperoleh kekuasaan yang dipegang oleh raja-raja Jawa. Manusia jawa cenderung berwatak kompromi dan menghindari konflik. Tak berprinsipkah Sunan kali jaga ketika memixing cerita Hindu dalam pewayangan dengan Islam?. Dan sebaliknya, manusia Jawa akan mempertahankan prinsip tatkala, orang luar yang datang tetap mempertahankan prinsip. Oleh karenanya, agama nasrani-pun tersendat penyebaranya di bumi Jawa, karena prinsip manusia Barat (Kolonial) pada waktu itu lebih senang mengunggulkan ras-nya, dan merendahkan manusia Jawa. Begitupun putramu ini, ia tetap mempertahankan prinsip keyakinanya, ketika kekasihnya juga setia mempertahankan prinsip. Namun bukan ego untuk saling merendahkan dan berkonflik. Tapi kami tetap berprinsip dalam indahnya perbedaan. Dan jangan risaukan keturunanmu kelak wahai abah dan umiku sayang. Karena kelak anak-anak kami akan bebas memilih prinsip keyakinanya sendiri. Bukankah keyakinan itu tak bisa dipaksakan? Bukankah keyakinan adalah hati nurani?. Kelak cucumu akan kami ajarkan untuk percaya kepada Tuhan dan bertindak pada nilai-nilai kebajikan, tanpa dihantui rasa takut akan dosa dan siksa neraka. berkeTuhanan dengan rasa tulus dan ikhlas. Soal kendaraan, kelak mereka sendiri yang bebas menetukan.


Abah dan Umi. Putramu ini tak hendak bermaksud mengguruhi, hanya inilah keyakinananku. Aku dan Lani hendak melaksanakan pernikahan secara Katolik, namun putramu tetaplah pada keyakinanya. Dan janganlah menganggapnya suatu yang haram dan zina. Karena ini hanyalah habitual cultur yang sacral dengan rasa tulus dan ikhlas diantara kami. Setidaknya Kami tak melanggar adat. Jika pernikahan kami divonis haram, maka haram juga kita semua sebagai anak cucu Adam. Bukankah, Adam dan Hawa juga tak pernah melangsungkan upacara pernikahan? Semua itu karena keadaan waktu itu. Pernikahan ini tetap sakral karena kami Tetap pada keyakinan masing-masing. Jika kami memakai dua adat masing-masing secara berganti, maka tak berprinsiplah kami. Namun pada akhirnya Tuhanlah yang maha mengetahui. Kami hanya mengawali niat kami untuk suatu kebajikan. Jika Abah dan Umi tak berkenan hadir, maka putramu berharap restumu dalam doa. Karena putramu tetap mengharap restu dan kasih sayang dari orang tuanya, tidak untuk hari ini saja, namun sampai kapanpun.

Abah dan Umi, maafkan putramu ini harus pergi. Kelak insayaallah akan datang kembali dengan membawa indahnya harmoni perbedaan. Dan jika orang tuanya sudi menerimanya kembali.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.



Dengan tidak mengurangi rasa hormat sedikitpun.
Putra yang selalu menyayangi Abah dan Umi,


Rijal Ar Rafi
________________________________________________________

Bismillah,… Ku letakan sepucuk surat ini di meja kamarku. Aku mengemas barang-barangku seperlunya. Segera mengambil mobil dan  menuju tempat Lani. Pergi untuk mewujudkan rencana kami dalam niat kebajikan. Rencana pernikahan kami tanpa restu orang tua. setidaknya untuk sementara ini, mereka masih dalam keadaan shock cultur, suatu hari kelak aku yakin mereka akan mengerti. jika kami dapat membuktikan bahwa air dan minyak bisa bersatu, walau air tetaplah air, dan minyak tetaplah minyak. Tak melebur dan tak bercampur. Namun rekat beriring selaras dalam satu bejana. Bejana dalam indahnya harmoni perbedaan. Insayallah,…..

SISI ROMANTIS SANG RASUL KAUM KIRI

SISI ROMANTIS SANG RASUL KAUM KIRI

“ Karl Marx”, ketika nama yang terdiri dari dua suku kata ini diucapkan, orang yang mendengar nama itu akan terlintas dalam anganya gambaran seorang kakek tua yang berjenggot lebat dengan wajah angker, yang berasal dari sebuah negeri dimana Adolf Hitler pernah petentang-petenteng dengan kain simbol NAZI yang diikatkan dilengannya yaitu Jerman. Seorang kakek tua yang ide-idenya oleh rezim orde baru dianggap haram, seram dan menakutkan,  sehingga jijik dan menghindarinya. Pencetus gagasan mengenai matrealisme dialektis atau matrealimse historis. Rasul Kaum Marxist dengan kitab Das Kapitalnya, pendakwah perjuangan kelas dengan gagasan diktatur proletariat dan masyarakat tanpa kelas.

Dibalik semua itu, ternyata sosok  yang terkesan radikal dan revolusioner  ini merupakan seorang lelaki romantis dengan sejuta cinta. Marx muda yang jatuh hati pada seorang gadis cantik yang bernama Jenny Von Westphalen. Yang kelak adalah istri tercintanya. Tujuh tahun lamanya Marx menunggu Jenny-nya yang cantik, tetapi baginya tahun-tahun itu terasa hanya beberapa waktu saja. Karena ia begitu mencintainya. Ketika berusia tujuh belas tahun Marx meminang Jenny dan baru tujuh tahun kemudian mereka menikah dengan dikaruniai tujuh orang anak. Ketika Marx menghembuskan nafas terakhirnya, di kantong bajunya ditemukan foto Jenny yang amat dicintainya bersama ayahandanya, serta foto salah seorang anaknya.

Sisi romantis Marx, terlihat jelas pada puisi-puisi karyanya yang special di buat untuk Jenny sang kekasih hati. Dalam puisi-puisi tersebut tampak betapa luas dan dalamnya cinta dan kesetiaan Marx kepada Jenny. Puisi tersebut antara lain berjudul “Puisi untuk Jenny” (1839) dan “Untuk Jenny” (1837).

Puisi-puisi Marx Muda untuk kekasihnya, JENNY VON WESTPHALEN

"Puisi Untuk Jenny"
I
Ambilah, ambilah semua kidung ini dari padaku
Hingga cinta berbaring di kakimu
Tempat jiwa bebas mendekat bermandi cahayamu
Diiringi lantunan kecapi yang melaju
Oh, andai gema kidung ini mampu
Melahirkan kerinduan dengan sentuhan yang merdu
Membuat hati berdenyut penuh hasrat
Hingga hatimu yang agung melambai lembut
Lalu kusaksikan dari kejauhan
Kemenangan membawamu sinar kesetiaan
Lalu aku kan berjuang, jauh lebih berani
Lalu kidungku kan terbang melayang, jauh lebih tinggi
Terjiwai, kidungku kan menjadi leluasa kembali
Dan dalam kepahitan yang manis
Kecapiku akan menangis
II
Bagiku, tak ada ketenaran duniawi
Mesti menjangkau tiap sudut bumi
Meski layak digenggam dengan bangga hati
Meski mencapai tempat-tempat jauh sekali
Sebanding dengan sorot matamu, saat berbinar penuh
Dengan hatimu, saat hangat oleh kegembiran yang riuh
Atau linangan air matamu, saat mengalir bagai peluh
Diperas oleh sentuhan tembang yang teduh
Dengan hati riang kan ku pasrahkan jiwa ini
Dalam desah alunan kecapi
Kan ku serahkan pula hidup yang sekali
Asal dapat ku capai puncak tertinggi
Asal dapat ku menangkan hadiah terindah
Mendampingimu dalam senang dan susah
III
Ah, sebentar lagi mungkin bait-bait ini akan terbang tinggi
Menemuimu bergetar sekali lagi
Sukmaku merunduk dalam kerendahan
Oleh ketakutan dungu dan pedihnya perpisahan
Bayangan indah penipu diri telah menyesatkan
Sepanjang jalan kesia-siaan
Tak kan bisa lagi tercapai puncak tertinggi yang ku idamkan
Dan segera, tak kan lagi tersisa harapan
Ketika aku kembali dari tempat yang jauh
Ke rumah syarat kenangan itu, dengan kerinduan penuh
Orang lain sedang memelukmu
Yang terindah, dengan bangga ia mendekapmu
Lalu serasa petir sedang menyambarku
Pada derita dan kehancuran ia menghantarku
IV
Maafkan aku, memberanikan diri mengharap cercamu
Tetapi jiwa ini ingin jujur mengaku
Bibir sang pengidung rela terbakar lebam
Demi menghembus bara kegelisahan agar padam
Lalu kehilangan diriku sendiri, dungu dan resah
Haruskah sang pengidung menipu
Tak mencintaimu setelah memandang  wajahmu?
Begitu tinggi saat berandai-andai jiwaku
Di hadapanku engkau berdiri anggun membisu
Tiada lain yang ku harap, selain tetes-tetes air matamu
Selain kau menikmati lantunan-lantunan kidungku
Dan menghiasinya dengan pernik-pernik keindahan
Meski setelah itu ia harus bergegas menuju ketiadaan

 **********

“Untuk Jenny”
I
Jenny! Dengan manja mungkin engkau akan bertanya
Mengapa sajak-sajaku ditandai  “Untuk Jenny”
Kala diketahui, hanya buatmu jatung ini berdegup cepat
Kala diketahui, hanya buatmu sajak-sajakku mendandangkan rindu
Kala diketahui, darimu kidung-kidungku mendapatkan ilhamnya
Kala setiap huruf melantunkan namamu
Kala setiap penggal kata mendapatkan iramanya darimu
Kala setiap tarikan nafas tak pernah lepas dari sang dewi

Karena nama ini begitu manis terdengar
Karena mengucapkannya memberi  makna begitu dalam
Begitu penuh, begitu merdu di telinga
Bagai jiwa merekah di kejauhan
Bagai senar-senar emas sebuah kecapi penuh harmoni
Bagai sosok anggun yang menakjubkan
II
Lihatlah! Dapat saja kupenuhi kitab ribuan lembar
Hanya dengan menulis “ Jenny” disetiap baris
Namun tetap saja aka nada sejuta isi hati tersembunyi
Tindakan abadi dan tindakan yang kokoh
Bait-bait indah yang rindu menunggu
Segala kerlip dan sinar cahaya
Segala kepedihan dan kegembiraan ilahi
Segala kehidupan dan pengatahuan yang kumiliki
Dapat saja aku membacanya
Pada bintang-bintang yang berkerlip diatas sana
Namun dari zefir semuanya, kan kembali padaku
Dari gemuruhnya dentuman ombak ganas
Sungguh, kan ku tulis kata-kata ini sebagai bait pengulangan
Sepanjang segala zaman___
CINTA ADALAH JENNY

JENNY ADALAH NAMA DARI CINTA

******* 

Sisi romantis dari seorang Marx ini, seakan menujukan pada kita bahwa di balik sosoknya yang sering dianggap  angker,  Marx pada masa muda-nya adalah seorang pemuda yang idealis, seorang suami dan ayah yang selalu setia pada istri dan anak-anaknya.
So sweet…. ^.^V


ALUR CERITA PANTAI PRIGI

(CERPENKU YANG DIMUAT DI JAWA POS, SENIN 18 FEBRUARI 2008)

BY : PUU

Selintas pandang pantai prigi, ukir kembali rindu yang pernah singgah. Meski lamunan sejenak, tak kan pernah habiskan semua. Asmara pantai prigi bagiku tak akan pernah hilang memori. Ombak yang membasahi pantai selalu membawa rindu dengan kecupan lembut pasirnya. Belai mesra rambut nyiur, melambai dengan karangan indah bunga-bunga pesona. Hari ini datang hati yang terhimpit berjuta abstrak lukisan hati. Entah ini rasa rindu, sedih, ataukah cinta yang remuk redam.

Pantai Prigi, panorama alam di deretan pantai selatan pulau Jawa, menyisakan kenangan indah dan pilu bagiku. Di pantai itu, aku tunduk dan jatuh meski tak sakit. Aku jatuh hati kepada seorang gadis cantik, teman satu kampus beda jurusan. “Ajeng Ayu Angraeni”, nama indah yang tak akan terhapus dari ingatanku. Gadis manis dengan senyuman mawar, rambut blonde mirip none belanda yang menawan dan mempesona.

Saat kami dan beberapa teman kuliah menghabiskan waktu liburan di pantai itu, kebersamaan membawa kami lebih dekat dan akrab. Benih-benih cintapun mulai tumbuh bersemi di hati. Saat hatiku tertawan tebaran jaring asmara, aku mulai mendekatinya. Seolah-olah Cupid putra Aphodite-lah yang menuntun langkahku dan membawa raga ini kepadanya.

Tak ayal, jantungpun berdetak kencang seakan genderang perang mendera dada ini. Saat sampai dihadapanya, ku tatap bola matanya yang jernih mengkilau. Dengan keberanian tekad bulat, kuluapkan semua hasrat cinta yang bergelora di hati. Tak dinyana, kerisauanku sirna. Cintaku terbalas.
“iya Agung. Sebenarnya, akupun telah lama memeperhatikanmu. Rasanya aku tidak bisa mendustai hati ini. Aku juga menyayangimu.” Kata-kata itu meluncur indah dari bibir manisnya, hingga aku tak akan pernah bisa lupa sepatah katapun kalimatnya.

Sepekan sekali, kami habiskan waktu dan hari-hari di pantai prigi. Duduk berdua di atas dermaga yang menjorok ke pantai sambil menikmati gugusan bukit di tengah pantai yang terselubung indahnya kabut putih. Berhembus empat penjuru mata angin, bergolak satu cinta di antara empat penjuru itu. Terlukis ombak yang membentur pantai atas dua cinta dalam satu hati yang bercumbu. Nyiur melambai atas nama asmara. Tuntun cinta laksana sepoi pasir putih. Pandang dua insan yang terlena asmara. Kalahkan debur keras sang ombak.
Namun malang hati, kenangan manis dan masa-masa indah itu telah berakhir. Akhir November menjadi saat terakhir kami bertemu disini.

******************

Seperti biasa, kami membuat janji untuk bertemu di pantai Prigi, saat itu aku datang lebih awal dan menunggu kedatangya. Lantas akupun duduk di atas dermaga yang biasa kusinggahi bersama Ajeng. Kunikmati indahnya panorama pantai prigi yang menyejukan jiwa.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara sebuah sepeda motor berhenti dari arah belakang. Aku menoleh seraya membalikan badan kearah sumber suara. Motor itu berhenti agak jauh dari tempatku berada, lalu kulihat sebuah motor mengkilat berwarna biru dengan tulisan thunder di bagian tengki bensinya.

Sebuah motor yang taka sing lagi bagiku. Begitu pula kedua pengendara di atas motor itu. Ya, motor itu milik Pramudya, sahabatku. Aku agak heran kenapa Pram bisa datang bersama ajeng, padahal mereka tak saling akrab.

Beberapa saat kemudian, Ajeng turun dari motor dan menghampiriku. Namun Pram tidak ikut serta. Dia hanya menunggu dari tempatnya sambil menghentikan motor. Aku sengaja tidak memanggilnya.
“Hai, Gung. Sudah lama menunggu?” Ajeng menyapaku sembari duduk di sampingku. Entah mengapa aku merasa sapaanya kali ini berbeda dari biasanya.
“iya, lumayan sih.” Balasku singkat.
“kok bareng Pram? , ketemu dimana?” lanjutku, masih penasaran atas kedatanganya bersama temanku itu.
“Pram tadi menjemputku di rumah”. Jawabnya seraya menatap kearah pantai.
Diselipkan rambut blonde yang menutupi wajah manisnya ketelinga, sembari bernafas dalam-dalam. “Agung, aku mau ngomong sesuatu,” katanya.
“ngomong apa jeng? , kok kelihatanya penting gitu.?” Jawabku sambil membenahkan posisi duduk.
“Maafkan aku jika mulai hari ini, aku tidak bisa menyapamu dengan kata sayang lagi. Aku ingin hubungan ini sampai disini.” Ucap ajeng seraya membalikan wajah dari hadapanku.
Kontan aku berdiri. “maksudmu, kamu minta putus?” ujarku, mencoba mencerna kalimat yang diucapkan ajeng.
“kamu ngak serius kan?” tanyaku lagi, sungguh-sungguh berharap Ajeng hanya bercanda.
“Aku serius Gung,” jawabnya. Mencoba menyakinkanku.
“Tapi, kenapa jeng?, aku punya salah?” tanyaku terputus-putus berusaha mengetahui alasanya.
“lama-lama aku merasa tidak ada kecocokan lagi diantara kita. Jujur aku lebih mencintai Pram” Alasan Ajeng langsung sukses menyayat-nyayat hati ini.
“Tidak cocok? Pram?” tanyaku singkat masih belum mengerti.
“iya, ternyata aku lebih menyayangi Pram. Kurasa, sekaranglah saat yang tepat bagiku untuk memilih pendampingku di antara kalian berdua. Maafkan aku Gung, aku memilih Pram.” Kali ini penjelasan Ajeng malah melukai hatiku lebih pedih lagi.
“Maafkan aku Gung, ku harap kamu mengerti semua ini. Terima kasih atas segalanya.” Kata Ajeng.
Kepalaku tiba-tiba berat, pusing, keringat dingin menyucur deras. Wajahku memucat.

**************************

Tak kusadari, ufuk telah memerah. Rasa puas dalam  hati memang  tak berpuncak untuk mengenang semua kisah ini. Hati masih menghimpit sesak, mengenang kenangan asmara Pantai Prigi dan remukan sebuah hati. Kapan remukan hati tersebut tersusun dan tertempel rapi kembali di atas secarik kertas senyuman?, aku pun tak tahu. Yang jelas asmara Pantai Prigi tak akan hilang dalam memori.

*SEMOGA BISA MEMBERI INSPIRASI DAN BERMANFAAT.. ^.^V


MENUNGGU PACAR DI SUDUT KAMPUS

Menunggu Pacar Di Sudut Kampus

Surabaya, Wifi zone, Maret 2010

Hoammm,… tak terasa selesai juga perkuliah hari ini, mata kuliah dengan berat bersih 3 Sks, kurang lebih dua setengah jam aku mendengarkan ceramah Dosen, begitu asik mengikuti perkuliahan jika sang dosen sangat memacu rasa keingintahuanku. Hari ini perkuliahan memang tak begitu padat lantaran dua mata kuliah lainya sedang kosong. Seketika otaku dengan cepat mengingat gadis cantik tambatan hatiku.hehehe.. Dengan sigap tangan kananku menerogoh kedalam saku celanaku meraih Handphone untuk mencari tahu keberadaannya dengan mengirim SMS. Ya kami memang masih berada dalam kompleks kampus yang sama, tak susah memang mencarinya dalam kompleks kampus yang tergolong sedehana ini, namun manusia zaman sekarang sudah dimanjakan oleh teknologi (termasuk aku juga.hehe). SMS ku terbalas namun ternyata dia masih kuliah hingga sore. Sambil menunggunya selesai kuliah ku putuskan untuk ngopi dulu bersama teman lainya di belakang kampus.

Menikmati segelas kopi dan sebatang rokok sambil bercanda dengan teman-teman memang sangat mengasikan. Tak tanggung-tanggung canda kamipun sangat kelewatan namun itu sudah menjadi makanan sehari-hari, yah kalo ingin ikutan nimbrung, siap-siap saja jadi bulan-bulanan untuk dietrek-etrek, ujian mental Man,.. Hahaha. Disela canda ria itu, mataku berkeliaran memperhatikan lingkungan kampusku. Yah lingkungan yang menurutku tidak memenuhi standart yang memadai untuk sebuah kampus yang katanya menuju World Class. Haah world class?? Local class saja masih dipertanyakan ko.. hohoho. (“Punten atuh,. Bukanya abdi mau menghina tapi ini teh kenyataan, kritik atuh nyak”,… heheh). Ya tapi masih untung kampus ini belum diprivatisasi. Hehehe. Hemm,.. walau bagaimanapun ini mah tetap kampusku, tempatku menimba ilmu, menikmati hari-hariku berjibaku dengan dunia akademik. Aku tersenyum sendiri jika mengingat keberadaanku di kampus ini, tak terbesit dulu aku akan kuliah disini, karena selepas lulus SMA selama dua tahun yang termaktub didalam otaku hanya mencari kerja. Hingga akhirnya kampus ini akrab dengan hari-hariku lantaran kejenuhanku dengan ketidakpastian kondisi sosial hidupku, walau terlambat dua tahun dari teman-teman seangkatanku.. hahaha.

Jenuh aku menunggu diwarung, aku berpindah kelorong kampus. Yah tempat ini mampu membunuh waktu karena sudah dilengkapi dengan wifi zone. Ku buka laptopku untuk mengakses internet,. “Sialan!!!” umpatku dalam hati mendapati wifi zonenya tidak connect. Memang ini sering terjadi. Ya biasalah biaya kuliah dikampusku ini kan masih tergolong murah, fasilitaspun ya seadanya. Hehe. Kusandarkan punggungku yang dari tadi terasa ngilu disebuah tiang. Mataku kembali berkeliaran memperhatikan para mahasiswa yang lalu lalang dilorong kampus. Sempat aku bertanya dalam hati. “Jadi apa ya besok calon sarjana-sarjana ini?” ( termasuk aku ini). Aku memcoba membayangkan jumlah mahasiswa di kampusku, Setiap tahun kampus ini menerima kurang lebih seratus mahasiswa baru pada setiap prodi. Ada sekitar tujuh prodi di Fakultasku, belum fakultas-fakultas lain satu universitas tuh. Bisa dibayangkan output sarjana setiap tahunya dari satu kampus saja, pasti begitu banyak jumlahnya yang tak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia. Yang terjadi adalah munculnya pengangguran-penganguran yang terdidik. Huhh mengerikan!!. Terkadang aku sendiri resah dengan nasibku sendiri. Ijizah yang kata Ivan Illic sangat dipuja-puja oleh masyarakat kita, lantaran ijazah dianggap sebagai tiket untuk hidup. namun jika dihadapkan pada minimnya lapangan pekerjaan tentunya ijazah tak lebih dari sekedar bungkus kacang yang tiada berguna. Empat tahun lamanya bergelut dengan buku kata Iwan Fals menjadi sia-sia.

Belum lagi tentang kualitas dari lulusan. Sering hal ini terjadi pada diriku, teman-temanku dan mahasiswa lain yang dengan susah payah datang ke kampus dengan harapan mengikuti kuliah dan mendapatkan ilmu, harus kecewa mendapati ruangan yang sudah terisi penuh alias tidak kebagian ruangan untuk kuliah. Saya bertanya dalam hati “apa yang dipikirkan para birokrat kampus, ketika menerima mahasiswa baru namun tidak sesuai dengan daya tampung kelas??”.Yang lucu lagi tahun ini Fakultasku membuka prodi baru yang tidak dipersiapkan ruanganya sehingga harus menempati ruangan-ruangan yang masih tersisa yang mustinya bukan merupakan ruang kelas. Apa hanya mengejar target banyak mahasiswa yang masuk maka banyak pula sumber dana yang masuk? Target terpenuhi tapi tidak diperhatikan mau dikemanakan lulusan-lulusan itu nantinya? Dengan santai mungkin mereka akan menjawab “derita loe”. Apa efektif kondisi kampus yang seperti ini untuk mencetak sarjana-sarjana yang kompeten??. Lingkungan seperti hanya akan menciptakan mahasiswa yang pasif yang hanya menjadi objek dari sebuah sistem yang belum mampu menciptakan mahasiswa yang kreatif dan inovatif. Mahasiswa akhirnya akan teralienasi dari kemampuanya untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan dengan lantang Paulo Freire sang pendekar kubu kiri pendidikan progresif mengatakan bahwa peserta didik bukan objek dari sistem pendidikan yang hanya pasif, melainkan sebagai subyek yang kritis dan kreatif dalam menciptakan terobosan di masyarakat. Suatu hari ketika aku akan memasuki kampusku terpampang tulisan yang kira-kira maksudnya adalah kampusku akan menuju World Class university di pintu gerbang kampus. Hatikupun tergelitik melihat tulisan itu. Atau mungkin jika mahasiswa Harvad University melihat tulisan ini akan berkata “eh ngaca dulu dech loe!”. Imajinasiku buyar ketika melihat pujaaan hatiku keluar dari kelas, tak terasa sudah hampir dua jam lebih pikiranku berkelana menyusuri sudut-sudut kampusku. Hari sudah menjelang sore akupun segera menghampirinya dan pulang dari kampusku tercinta ini. Ciao,....

Sudut Kampus, Maret 2010